Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilaporkan Sudarto et al. pada tahun 2009. Menurut hasil penelitiannya dilaporkan sebanyak 100 jenis ikan hias air tawar yang terdapat di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Selanjutnya Sudarto et al. (2009) juga menyatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan tersebut belum dibudidayakan bahkan beberapa spesies ada yang dinyatakan punah seperti ikan balashark (ketutung) dan ikan kapas.
Berikut daftar spesies ikan hias air tawar Kalimantan yang berhasil dilaporkan Sudarto et al. (2009):
Pustaka
Sudarto, I. W. Subamia, D. Satyani, M. F. I. Nugraha. 2009. Laporan Inventarisasi Ikan Hias Air Tawar Kalimantan. Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar Depok.
Yogyakarta, Sabtu, 17/12/2011, merupakan
hari kedua kami (Rita, Febri, Prigi, Jean, Doni, dan saya) mengikuti Training
Hidrologi di Kampus MM Magister
Sains Teknik UGM. Seperti yang
telah disepakati pada hari sebelumnya, bahasan kami pagi hari ini adalah
mengenai Fishway serta penerapannya di Indonesia.
Kuliah-pun
dibuka Pak Agus Maryono dengan sedikit pemaparan mengenai pentingnya sumberdaya
ikan sebagai penyedia sumber protein hewani bagi masyarakat serta beberapa
faktor yang mengancam kelestarian populasi ikan di alam, salah satu-nya
diakibatkan oleh keberadaan bangunan melintang sungai.
Banyaknya
bangunan melintang sungai, mulai dari bendungan, bendung, cek dam, ground sill, dam konsolidasi, serta sabo
dam telah memutus jalur migrasi ikan serta organisme akuatik lainnya. Akibatnya,
ikan-ikan yang biasanya bisa dengan bebas berenang kemana-pun mereka inginkan menjadi
terkurung dalam suatu batas wilayah sungai tertentu tanpa adanya cara untuk
keluar dan membebaskan diri. Kondisi ini secara otomatis menjadi ancaman bagi
kelestarian populasinya di alam dikarenakan dalam siklus hidupnya ikan memerlukan migrasi untuk mencari makan,
berkembangbiak, serta mencari perlindungan dan habitat hidup pada kondisi
perairan yang lebih baik. Seperti halnya ikan salmon yang hidup di banyak
Negara beriklim subtropis, pembuatan bangunan-bangunan tambahan yang
selanjutnya diistilahkan dengan “fishway” (tangga ikan) menjadi solusi yang
dapat mencegah laju penurunan populasi ikan akibat pengaruh keberadaan bangunan
melintang yang tidak ramah lingkungan.
Indonesia
yang dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman spesies ikan perairan umumnya,
termasuk ekosistem perairan sungai, sudah menjadi suatu kewajiban untuk mempercepat
penerapan fishway. Menurut pantauan Pak Agus Maryono, Indonesia baru memiliki 4
buah bangunan fishway yang diantaranya terdapat di bangunan Bendung Perjaya Ogan
Komering Ulu (Sumsel), Bendung Batang Hari (Sumbar), dan Bendung Wawotobi
(Sulsel). Sedangkan bangunan melintang lainnya hanya berfungsi sebagai penyedia
air serta penstabil kondisi fisik sungai saja tanpa memperdulikan fungsi
ekologis sungai sebagai habitat dari banyak spesies makhluk hidup, khususnya
ikan.
Setelah
apa yang dipaparkan di atas, lalu yang menjadi pertanyaannya kini adalah “bagaimana dengan bangunan melintang yang
sudah ada?”. Menjawab pertanyaan ini, Pak Agus Maryono memberikan beberapa solusi
antara lain:
1.Melengkapi bangunan melintang dengan bangunan
fishway
2.Merenovasi bangunan melintang sehingga
memungkinkan terbuka hulu hilir
3.Membongkar bangunan melintang dengan
konstruksi lain yang memungkinkan terjadinya hubungan ekologi-hidraulik
hulu-hilir
“Lalu seberapa besar biaya
yang diperlukan?”, ahli
hidrologi UGM ini-pun selanjutnya menyatakan bahwa untuk membuat sebuah
bangunan fishway hanya diperlukan 0,5% dari total biaya pembangunan suatu
bangunan melintang sungai. “Mengapa Indonesia
tidak menerapkan pada bangunan-bangunan melintang sungai-nya?”, sebenarnya Indonesia
telah menerapkannya sejak tahun ‘80-an, namun karena banyaknya masyarakat yang
menangkapi ikan saat bermigrasi menggunakan fishway, membuat para pemangku
kebijakan memutuskan bahwa masyakat Indonesia belum siap menerima keberadaan teknologi
tersebut. Dan sejak saat itu, semua bangunan melintang sungai yang ada Indonesia
dibuat tanpa keberadaan fishway, Pak Agus Maryono menjelaskan panjang lebar.
Selain
bangunan melintang, bangunan memanjang sungai seperti halnya talud,
gorong-gorong, jembatan sempit, pelurusan/sudetan, perombakan material dasar
sungai, serta perombakan sempadan sungai juga dinyatakan sebagai bangunan-bangunan
lainnya yang ikut mengancam kelestarian populasi ikan di alam. Berbagai dampak
mulai dari hilangnya daerah pemijahan ikan hingga perubahan struktur komunitas makroinvertebrata
air yang merupakan salah satu sumber makanan ikan, juga menjadi faktor ancaman lain
terhadap kelangsungan hidup populasinya di alam. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, Pak Agus Maryono-pun memberikan solusi mulai dari pembuatan talud
ramah lingkungan dimana diantara bangunan beton yang didirikan diberi jarak
untuk diselingi pepohonan, misal ceri dan cyperus
sp., hingga merenovasi gorong-gorong menjadi lebar serta tercelup ke dalam sungai.
Tidak
seluruhnya masuk dalam suasana yang teoritis, kuliah-pun diisi dengan kisah Pak
Agus Maryono yang pernah melakukan upacara pemanggilan ikan di Sungai Code, Yogyakarta.
Upacara yang diikuti oleh banyak orang ini diawali dengan pembacaan doa yang kemudian
dilanjutkan dengan memukul-mukul kerakal kerikil yang sudah tertutupi oleh
lumpur sungai menggunakan sapu lidi. Berbagai bumbu masakan mulai dari bawang
merah, bawang putih, hingga cabe ditusukkan satu persatu pada sapu lidi lainnya
kemudian dicelupkan ke sungai. Sampah-sampah yang ada juga dibersihkan dan terakhir
upacara ditutup dengan makan-makan bersama di pinggir sungai. Menurut Pak Agus
Maryono, upacara ini terinspirasi dari kebiasaan masyarakat tradisional Jerman untuk
memanggil ikan salmon.
Kurang
dari pukul 12 siang, kuliah-pun akhirnya selesai. Berbagai informasi mengenai
fishway serta penerapannya di Indonesia sudah dipaksa masuk dalam otak kami
selama kurang lebih 3 jam dalam ruang perkuliahan. Setidaknya hari ini kami memiliki
bekal dan sedikit lebih paham mengenai fishway, tidak seperti hal-nya kondisi
semalam dimana dengan candaannya Rita mendefinisikan fishway dengan istilah
“ikan jalan-jalan”.
Semoga para pemangku
kebijakan akan pengelolaan sungai dapat mempertimbangkan dan segera mengaplikasikan
fishway pada banyak bangunan melintang sungai di Indonesia sehingga tidak hanya
sekedar tertuang dalam konsep saja.[Ruby Vidia Kusumah - Desember 2011]
Pustaka
Maryono, A.
2008. Rekayasa fishway (tangga ikan). Applied eco-hydraulic. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Susah payah bikinnya nih... tapi ya cukup simpel and bagus lah menurut saya (yang bikin gitu loh...hehe)
Filosofi logo:
warna biru langit pada kata indig-nous melambangkan perairan serta sumberdaya akuatik yang ada di dalamnya
angka 3 di tengah kata melambangkan unsur pengelolaan yang terdiri dari perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
slogan "save OUR aquatic resources" sebagai pengingat upaya pengelolaan sumberdaya akuatik yang berkelanjutan dan seimbang antara kepentingan ekologi dan ekonomi
Semoga filosofinya mengena dan terus menjadi semangat dan pendorong upaya pengelolaan sumberdaya akuatik Indonesia. Amiiin.
Blog ini hadir sebagai tempat pembelajaran bersama, ajang diskusi, berbagi pemahaman, pengalaman, serta penyebarluasan informasi mengenai sumberdaya akuatik lokal Indonesia, perlindungan, pelestarian, serta pemanfaatannya yang seimbang dan berkelanjutan antara kepentingan alam dan manusia.
"indig3nous" (baca: indigenous) merupakan kata asing yang berarti "asli" dan menurut salah satu kamus elektronik, istilah ini juga diartikan "pribumi". Dalam ekologi, istilah indigenous sering digunakan para ahli untuk menyebutkan suatu spesies makhluk hidup yang hadir secara alami pada suatu wilayah tertentu, tidak berdasarkan adanya campur tangan manusia. Penggantian huruf “e” dengan angka “3” yang terletak di tengah-tengah kata indigenous melambangkan asas pengelolaan yang terdiri atas perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan.
Kata lain yang memiliki makna sama dengan indigenous antara lain adalah native, local, dll. Sedangkan lawan kata dari indigenous antara lain adalah non-native, exotic, non-indigenous, alien, xenic, noxious, weedy, pest dan foreign. Untuk memudahkan pemahaman, pada artikel-artikel selanjutnya, penulis akan menggunakan istilah "spesies lokal" untuk menyebut spesies indigenous dan "spesies asing" untuk menyebut spesies alien (non-indigenous). Keberadaan spesies-spesies asing menempati suatu ekosistem dan habitat perairan yang sama dengan spesies asli merupakan salah satu fokus perhatian yang akan didiskusikan dalam blog ini.
Dalam penyampaiannya ke depan, penulis menyadari bahwa akan terdapat banyak hal yang tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan berbagai masukan yang membangun untuk kesempurnaan blog ini. Melalui blog ini, penulis juga memiliki harapan agar proses perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya akuatik lokal dapat dilakukan secara seimbang, tidak hanya melindungi dan melestarikan saja (ekologi) namun juga dapat memberikan solusi agar bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia (ekonomi). Amiiin.
Akhir kata penulis hanya bisa mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada para pembaca yang telah berkunjung.