Suatu
makhluk dikatakan hidup jika diantaranya memiliki ciri dapat tumbuh dan
berkembangbiak. Untuk menunjang kebutuhannya tersebut, suatu spesies
makhluk hidup memerlukan berbagai faktor pendukung mulai dari makanan
hingga lingkungan yang sesuai. Sebagai suatu strategi, makhluk hidup ini
akan berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya untuk memperoleh
faktor-faktor tersebut yang kemudian diistilahkan dengan migrasi.
Diantara sekian banyak spesies makhluk hidup yang bermigrasi, ikan
termasuk salah satu diantaranya.
Ikan tidak dapat berpindah tempat
Dalam
suatu sistem sungai, migrasi ikan dapat dilakukan mulai dari hulu ke
hilir ataupun sebaliknya dengan tujuan untuk mencari makan hingga tempat
memijah. Dalam perjalanannya menuju suatu tempat tertentu, seringkali
banyak rintangan yang harus dilalui ikan mulai dari predator hingga
berbagai hambatan lainnya yang disebabkan oleh faktor anthropogenik
(manusia), salah satu diantaranya adalah berupa bangunan melintang
ataupun memanjang.
Penurunan populasi ikan dari tahun ke tahun
Keberadaan
bangunan-bangunan seperti halnya bendungan maupun talud, menyebabkan
ikan-ikan seolah berada dalam suatu “kurungan besar” pada batas wilayah
sungai tertentu. Ketika faktor pendukung yang disebutkan di atas
berkurang, habis, ataupun rusak, ikan tidak mendapatkan solusi lain
dengan cara berpindah ke tempat lainnya untuk mencari habitat hidup yang
lebih layak. Akibatnya populasi ikan-ikan di habitat tersebut lambat
laun mengalami penyusutan dari tahun ke tahun yang akhirnya mengantarkan
spesiesnya pada kepunahan.
Fishway sebagai solusi
Penerapan
teknologi ramah lingkungan yang memperhitungkan keberadaan sumberdaya
akuatik termasuk kelestariannya sudah menjadi suatu kebutuhan yang
mendesak dan wajib diaplikasikan pada bangunan melintang dan memanjang
sungai. Fishway atau tangga ikan merupakan alternatif yang dapat
diaplikasikan pada suatu bangunan sungai yang
sudah atau baru akan dibuat. Dengan keberadaan bangunan tambahan ini
diharapkan siklus migrasi ikan tidak terputus sehingga ikan dapat terus
tumbuh dan berkembangbiak tanpa adanya faktor ancaman tersebut.
Yogyakarta, Sabtu, 17/12/2011, merupakan
hari kedua kami (Rita, Febri, Prigi, Jean, Doni, dan saya) mengikuti Training
Hidrologi di Kampus MM Magister
Sains Teknik UGM. Seperti yang
telah disepakati pada hari sebelumnya, bahasan kami pagi hari ini adalah
mengenai Fishway serta penerapannya di Indonesia.
Kuliah-pun
dibuka Pak Agus Maryono dengan sedikit pemaparan mengenai pentingnya sumberdaya
ikan sebagai penyedia sumber protein hewani bagi masyarakat serta beberapa
faktor yang mengancam kelestarian populasi ikan di alam, salah satu-nya
diakibatkan oleh keberadaan bangunan melintang sungai.
Banyaknya
bangunan melintang sungai, mulai dari bendungan, bendung, cek dam, ground sill, dam konsolidasi, serta sabo
dam telah memutus jalur migrasi ikan serta organisme akuatik lainnya. Akibatnya,
ikan-ikan yang biasanya bisa dengan bebas berenang kemana-pun mereka inginkan menjadi
terkurung dalam suatu batas wilayah sungai tertentu tanpa adanya cara untuk
keluar dan membebaskan diri. Kondisi ini secara otomatis menjadi ancaman bagi
kelestarian populasinya di alam dikarenakan dalam siklus hidupnya ikan memerlukan migrasi untuk mencari makan,
berkembangbiak, serta mencari perlindungan dan habitat hidup pada kondisi
perairan yang lebih baik. Seperti halnya ikan salmon yang hidup di banyak
Negara beriklim subtropis, pembuatan bangunan-bangunan tambahan yang
selanjutnya diistilahkan dengan “fishway” (tangga ikan) menjadi solusi yang
dapat mencegah laju penurunan populasi ikan akibat pengaruh keberadaan bangunan
melintang yang tidak ramah lingkungan.
Indonesia
yang dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman spesies ikan perairan umumnya,
termasuk ekosistem perairan sungai, sudah menjadi suatu kewajiban untuk mempercepat
penerapan fishway. Menurut pantauan Pak Agus Maryono, Indonesia baru memiliki 4
buah bangunan fishway yang diantaranya terdapat di bangunan Bendung Perjaya Ogan
Komering Ulu (Sumsel), Bendung Batang Hari (Sumbar), dan Bendung Wawotobi
(Sulsel). Sedangkan bangunan melintang lainnya hanya berfungsi sebagai penyedia
air serta penstabil kondisi fisik sungai saja tanpa memperdulikan fungsi
ekologis sungai sebagai habitat dari banyak spesies makhluk hidup, khususnya
ikan.
Setelah
apa yang dipaparkan di atas, lalu yang menjadi pertanyaannya kini adalah “bagaimana dengan bangunan melintang yang
sudah ada?”. Menjawab pertanyaan ini, Pak Agus Maryono memberikan beberapa solusi
antara lain:
1.Melengkapi bangunan melintang dengan bangunan
fishway
2.Merenovasi bangunan melintang sehingga
memungkinkan terbuka hulu hilir
3.Membongkar bangunan melintang dengan
konstruksi lain yang memungkinkan terjadinya hubungan ekologi-hidraulik
hulu-hilir
“Lalu seberapa besar biaya
yang diperlukan?”, ahli
hidrologi UGM ini-pun selanjutnya menyatakan bahwa untuk membuat sebuah
bangunan fishway hanya diperlukan 0,5% dari total biaya pembangunan suatu
bangunan melintang sungai. “Mengapa Indonesia
tidak menerapkan pada bangunan-bangunan melintang sungai-nya?”, sebenarnya Indonesia
telah menerapkannya sejak tahun ‘80-an, namun karena banyaknya masyarakat yang
menangkapi ikan saat bermigrasi menggunakan fishway, membuat para pemangku
kebijakan memutuskan bahwa masyakat Indonesia belum siap menerima keberadaan teknologi
tersebut. Dan sejak saat itu, semua bangunan melintang sungai yang ada Indonesia
dibuat tanpa keberadaan fishway, Pak Agus Maryono menjelaskan panjang lebar.
Selain
bangunan melintang, bangunan memanjang sungai seperti halnya talud,
gorong-gorong, jembatan sempit, pelurusan/sudetan, perombakan material dasar
sungai, serta perombakan sempadan sungai juga dinyatakan sebagai bangunan-bangunan
lainnya yang ikut mengancam kelestarian populasi ikan di alam. Berbagai dampak
mulai dari hilangnya daerah pemijahan ikan hingga perubahan struktur komunitas makroinvertebrata
air yang merupakan salah satu sumber makanan ikan, juga menjadi faktor ancaman lain
terhadap kelangsungan hidup populasinya di alam. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, Pak Agus Maryono-pun memberikan solusi mulai dari pembuatan talud
ramah lingkungan dimana diantara bangunan beton yang didirikan diberi jarak
untuk diselingi pepohonan, misal ceri dan cyperus
sp., hingga merenovasi gorong-gorong menjadi lebar serta tercelup ke dalam sungai.
Tidak
seluruhnya masuk dalam suasana yang teoritis, kuliah-pun diisi dengan kisah Pak
Agus Maryono yang pernah melakukan upacara pemanggilan ikan di Sungai Code, Yogyakarta.
Upacara yang diikuti oleh banyak orang ini diawali dengan pembacaan doa yang kemudian
dilanjutkan dengan memukul-mukul kerakal kerikil yang sudah tertutupi oleh
lumpur sungai menggunakan sapu lidi. Berbagai bumbu masakan mulai dari bawang
merah, bawang putih, hingga cabe ditusukkan satu persatu pada sapu lidi lainnya
kemudian dicelupkan ke sungai. Sampah-sampah yang ada juga dibersihkan dan terakhir
upacara ditutup dengan makan-makan bersama di pinggir sungai. Menurut Pak Agus
Maryono, upacara ini terinspirasi dari kebiasaan masyarakat tradisional Jerman untuk
memanggil ikan salmon.
Kurang
dari pukul 12 siang, kuliah-pun akhirnya selesai. Berbagai informasi mengenai
fishway serta penerapannya di Indonesia sudah dipaksa masuk dalam otak kami
selama kurang lebih 3 jam dalam ruang perkuliahan. Setidaknya hari ini kami memiliki
bekal dan sedikit lebih paham mengenai fishway, tidak seperti hal-nya kondisi
semalam dimana dengan candaannya Rita mendefinisikan fishway dengan istilah
“ikan jalan-jalan”.
Semoga para pemangku
kebijakan akan pengelolaan sungai dapat mempertimbangkan dan segera mengaplikasikan
fishway pada banyak bangunan melintang sungai di Indonesia sehingga tidak hanya
sekedar tertuang dalam konsep saja.[Ruby Vidia Kusumah - Desember 2011]
Pustaka
Maryono, A.
2008. Rekayasa fishway (tangga ikan). Applied eco-hydraulic. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.