Tampilkan postingan dengan label ikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 November 2012

Amphidromus, Diadromus yang tak sepopuler ikan salmon (anadromus)

wah lama gak ngisi blog nih....mencoba kembali

Tidak semua hewan akuatik, khususnya ikan, menghabiskan seluruh siklus hidupnya hanya di ekosistem air tawar atau laut saja. Beberapa spesies dilaporkan bermigrasi antara kedua ekosistem tersebut atau lebih dikenal dengan istilah diadromus.

Katadromus, tumbuh dan besar hingga dewasa di air tawar sedangkan pemijahannya berlangsung di laut, contoh sidat (Anguillidae). Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori anadromus, dimana proses tumbuh dan besar di air laut sedangkan pemijahannya di air tawar, contoh salmon (Salmonidae).

Selain dua kategori di atas, terdapat kategori lainnya yang dikenal dengan istilah amphidromus. Seperti halnya ikan salmon dan sidat, strategi ini juga melibatkan migrasi antara ekosistem laut dan perairan tawar dalam siklus hidup spesies-spesiesnya, namun bukan untuk tujuan memijah (Myers, 1949).

Ikan-ikan amphidromus tumbuh, besar, dan memijah di air tawar, kemudian setelah menetas, larva-nya secara pasif hanyut terbawa aliran sungai langsung menuju laut. Setelah berusia beberapa minggu atau bahkan bulan, anak-anak ikan amphidromus ini akan kembali lagi ke air tawar (migrasi) dalam fase post-larva/juvenil (Keith, 2003). Secara lengkap perbedaan ketiga kategori ini dijelaskan McDowall (1997) pada Gambar berikut ini.

Pola migrasi antara air tawar dan laut (dimodifikasi dari McDowall, 1997)



Siklus hidup amphidromus dimiliki oleh beberapa spesies ikan, krustacea, dan gastropoda. Pada ikan, kategori diadromus ini terdapat pada beberapa spesies ikan gobi (Gobiidae) yang berasal dari genus Akihito, Cotylopus, Lentipes, Parasicydium, Sicydium, Sicyopterus, Sicyopus, SmilosicyopusStiphodon (Sicydiinae), Rhinogobiusdan Awaous.
[Ruby Vidia Kusumah]

Kamis, 19 Januari 2012

Keanekaragaman Jenis “Si Tukang Berantem”

Pernah denger yang namanya organ labirin (labyrinth organ) pada ikan…?, Belum pernah…?, Tapi, kalau ikan cupang (Betta spp.) tahu kan?, Terus apa hubungannya? ….Nah, organ labirin itu alat nafas tambahan ikan cupang. Layaknya tabung yang digunakan para penyelam, alat ini membantu cupang untuk dapat hidup pada ekosistem perairan dengan kadar oksigen rendah, misal rawa. Dengan adanya organ labirin, spesies-spesies seperti halnya ikan cupang dapat memanfaatkan oksigen langsung dari udara sehingga tidak seluruhnya bergantung dari yang terlarut dalam air.
untuk mengunduh poster berukuran besar
silahkan klik gambar lalu simpan
Ngomong-ngomong soal cupang (Betta spp.), berdasarkan hasil inventarisasi  Tan Heok Hui yang disampaikan dalam Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA) 2011, Indonesia ternyata merupakan surganya dari berbagai spesies yang terkenal sebagai ikan aduan maupun hias ini. Memang berapa total spesies cupang di Indonesia? Tulisan ini akan membahas mengenai keanekaragaman spesies ikan cupang alam Indonesia.


Ikan cupang (Betta spp.) merupakan anggota terbesar dari keluarga Osphronemidae yang hanya mendiami kawasan Asia Tenggara. Dari 69 total spesies yang telah terdeskripsi, 48 (70%) diantaranya dapat ditemukan di perairan tawar Indonesia dan dari jumlah tersebut, 37 spesies-nya hanya terdapat (endemik) di Indonesia (Tan Heok Hui, 2011).
Berdasarkan tingkahlaku reproduksinya, spesies-spesies cupang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu membangun sarang (bubblenester) (No. 1-3) dan menjaga telur dalam mulutnya (mouthbrooder) (No. 4-13). Sedangkan berdasarkan pada karakter morfologinya mulai dari pola tenggorokan (throat), pola opercle, pola dan warna sirip, pola dan ukuran tubuh, serta bentuk kepala, spesies-spesies ini terbagi menjadi 13 kelompok spesies, yang di Indonesia antara lain terdiri dari:
  1. Kelompok Betta splendens: 1 spesies (Betta imbellis)
  2. Kelompok Betta bellica: 2 spesies (Betta bellica dan Betta simorum)
  3. Kelompok Betta coccina: 7 spesies (Betta coccina, Betta brownorum, Betta miniopinna, Betta sp., Betta rutilans, Betta burdigala, dan Betta uberis)
  4. Kelompok Betta albimarginata: 2 spesies (Betta albimarginata dan Betta channoides)
  5. Kelompok Betta akarensis: 5 spesies (Betta balunga, Betta aurigans, Betta pinguis, Betta obscura, dan Betta antoni)
  6. Kelompok Betta anabatoides: 2 spesies (Betta anabatoides dan Betta midas)
  7. Kelompok Betta dimidiata: 2 spesies (Betta dimidiata dan Betta krataois)
  8. Kelompok Betta edithae: 1 spesies (Betta edithae)
  9. Kelompok Betta foerschi: 4 spesies (Betta mandor, Betta foerschi , Betta strohi, dan Betta rubra)
  10. Kelompok Betta picta: 3 spesies (Betta picta, Betta falx, dan Betta taeniata)
  11. Kelompok Betta pugnax: 8 spesies (Betta pugnax, Betta lehi, Betta fusca, Betta schalleri, Betta enisae, Betta breviobesus, Betta cracens, dan Betta raja)
  12. Kelompok Betta unimaculata: 6 spesies (Betta ocellata, Betta unimaculata, Betta patoti, Betta pallifina, Betta compuncta, dan Betta ideii)
  13. Kelompok Betta waseri: 5 spesies (Betta hipposideros, Betta spilotogena, Betta chloropharynx, Betta renata, dan Betta pardalotos)


Semoga Indonesia yang kaya akan sumberdaya akuatik-nya ini bisa mengelolanya dengan bijak sehingga dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat-nya. Amin


Sumber:
Tan, H. H. 2011. Diversity of Fighting Fishes - Ikan Cupang. Dipresentasikan dalam Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA), Bali, 2011.

[Ruby Vidia Kusumah]

Senin, 09 Januari 2012

ikan lokal hingga spesies asing ciliwung

Beberapa informasi ini merupakan hasil inventarisasi yang dilakukan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor untuk mengenali potensi akuatik yang ada di Sungai Ciliwung dan sebagian telah dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI, KKP, Bandung, 18 Oktober 2011 . Kegiatan ini dilakukan melalui pengoleksian secara langsung maupun berdasarkan hasil wawancara kepada warga bantaran sungai Ciliwung. Dari kegiatan tersebut telah berhasil terinventarisasi ikan sebanyak 33 spesies dimana 13 ekor (61%) diantaranya merupakan spesies asing.

Gambar ikan Menga (Brachygobius aggregatus)

Ikan-ikan yang termasuk spesies asli terdiri dari: Lubang (Anguilla bicolor), Julung-julung (Dermogenys pusilla), Arelot (Pangio oblonga), Paray (Rasbora aprotaenia), Beunteur (Puntius binotatus), Tawes (Barbonymus gonionotus), Soro (Tor soro), Hampal (Hampala macrolepidota), Betok (Anabas testudineus), Bogo (Channa striata), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Tambakang (Helostoma temminkii), Sepat rawa (Trichopodus trichopterus), Cupang sawah (Trichopsis vittata), Senggal (Hemibagrus cf. nemurus), Lele lokal (Clarias batrachus), Kehkel (Glyptothorax platypogon), Berod (Macrognathus maculatus), dan Belut (Monopterus albus), sedangkan yang merupakan spesies introduksi antara lain terdiri dari: ikan Mas (Cyprinus caprio), Koan (Ctenopharyngodon idella), Koki (Carassius  auratus), Nila (Oreochromis niloticus), Nila merah (Oreochromis sp.), Mujair (Oreochromis mossambicus), Golsom (Aequidens rivulatus), Lele dumbo (Clarias sp.), Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis),  Sisik melik (Xiphophorus hellerii),  Bungkreung (Poecilia reticulata dan Gambusia affinis), dan Sepat siam (Trichogaster pectoralis). 

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor pada tahun 2007, jenis ikan yang ditemukan di Sungai Ciliwung diantaranya adalah Baung hitam (senggal), Baung lilin, Hampal, Beunteur, dan beberapa jenis ikan Loach (komunikasi pribadi). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Komunitas Ciliwung Bojonggede, beberapa spesies lainnya juga diketahui mulai dari sili, gehed, patin, bawal, menga (Brachygobius aggregatus), hingga buntal air tawar pada sekitar tahun '80-an yang mirip dengan spesies dari Palembang yaitu Tetraodon palembangensis. Dari wawancara ini juga tercatat hasil tangkapan ikan Mas hingga mencapai bobot 7 kg serta Baung berbobot 3 kg di Sungai Ciliwung Bojonggede. [Ruby Vidia Kusumah]


Selasa, 03 Januari 2012

Penyelamatan Beunteur di Kolam Beton

Sabtu, 31/12/2011, sepulang penanaman pohon di bantaran Sungai Ciliwung oleh KPC (Komunitas Peduli Ciliwung) Bogor, saya menyempatkan diri melihat kolam beunteur (Puntius binotatus) teman saya yang berlokasi di Sekretariat KALAM (Komunitas Peduli Kampung Halaman), Tegal Gundil, Bogor. Dari laporannya di blog Si Beunteur, mereka telah berhasil memijahkan spesies lokal yang banyak diminati masyarakat sebagai ikan konsumsi ini hanya dengan penerapan teknologi sederhana. Kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm serta berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower, penanaman tumbuhan air berupa rerumputan, hingga pemasangan bebatuan sungai. Jadi intinya bahwa habitat asli ikan beunteur di sungai berusaha ditiru pada kolam beton tersebut dengan parameter keberhasilan berupa 31 ekor benih beunteur berumur kurang dari 30 hari.

Gambar Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
 
Potensi dan permasalahan

Ikan beunteur (Puntius binotatus) merupakan spesies lokal dari keluarga Cyprinidae yang banyak ditemukan di Sungai Ciliwung (Kusumah et al., 2011) maupun sungai lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Spesies ini banyak diminati masyarakat karena kelezatannya sebagai ikan konsumsi dimana banyak menu masakan dibuat dari ikan lokal ini. Menurut Atlas of Freshwater Aquarium Fishes (Axelrod et. al., 2004), ikan beunteur dimanfaatkan juga sebagai ikan hias pengisi akuaskap sedangkan berdasar pada kebiasaan masyarakat di bantaran sungai, spesies ini juga digemari dalam olahraga memancing (sport fishing).

Hingga kini produksi beunteur masih berasal dari hasil tangkapan alam sedangkan upaya budidayanya secara massal belum pernah dilakukan. Kondisi ini menyebabkan jumlahnya di pasaran sangat terbatas dan bersifat musiman sehingga kontinyuitas pemanfaatannya tidak dapat tersedia sepanjang waktu. Akibatnya, hanya pada musim-musim tertentu saja ikan ini bisa dikonsumsi masyarakat.

Konservasi eksitu

Ketika eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di alam terus dilakukan tanpa memperhitungkan informasi mengenai dinamika populasinya (kematian, rekruitmen, ukuran populasi, dll), ditambah lagi berbagai bentuk ancaman lainnya mulai dari kerusakan habitat, introduksi spesies asing, serta pencemaran yang terjadi di habitat aslinya akan menjadi faktor yang mempercepat penurunan populasinya di alam. Tanpa upaya pengelolaan yang tepat, misal pelarangan tangkap saat musim pemijahan hingga pembuatan suaka perikanan, kelestarian spesies-spesies tersebut di masa yang akan datang tidak dapat terjamin dari generasi satu ke generasi lainnya. Pada kondisi ekstrim, keberadaan spesies makhluk hidup ini menjadi lebih cepat punah.

Budidaya merupakan alternatif upaya konservasi yang dapat dilakukan secara eksitu dimana suatu spesies dilestarikan dan dilindungi dengan cara ditangkarkan di luar habitat aslinya. Dengan adanya upaya ini eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di alam dapat dikurangi sehingga kelestarian populasinya bisa terjaga. Selain itu, keuntungan lainnya adalah berupa kontinyuitas pemanfaatan yang bisa berlangsung secara berkelanjutan (tidak bersifat musiman) dikarenakan produksinya bisa diatur melalui segmentasi proses budidaya.

Biologi dan teknologi budidaya

Beunteur tergolong ikan benthopelagik (tinggal di dasar hingga kolom perairan), hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran suhu 24-26ÂșC dan pH perairan 6,0-6,5 (Roberts, 1989). Ikan ini umumnya ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Berdasarkan Ekspedisi Ikan Ciliwung oleh KPC, di Sungai Ciliwung, beunteur banyak ditemukan di bagian tepi sungai yang tidak terlalu dalam dan terhalangi oleh batuan besar sungai serta sampah anorganik yang membuat arus tidak mengalir deras. Akibatnya mereka bisa mendiami habitat tersebut dengan nyaman. Sedangkan anakan beunteur banyak ditemukan di daerah tepian sungai berupa genangan yang dialiri air jernih berarus sangat pelan, dangkal, tertutup bebatuan sungai berukuran kecil hingga besar, serta ditumbuhi tanaman air berupa rerumputan yang tumbuh dari dasar hingga mencuat ke atas permukaan perairan (KPC, 2011, unpublished).

Beunteur jantan matang gonad pertama kali pada ukuran 50 mm sedangkan betina pada ukuran 56  mm dengan fekunditas berkisar antara 168 -10.858 butir (Rahmawati, 2006). Selanjutnya Rahmawati (2006) menambahkan bahwa berdasarkan sebaran diameter telur-nya ikan beunteur diduga termasuk dalam kategori total spawner (saat memijah telur dikeluarkan seluruhnya, tidak sebagian-sebagian). Sedangkan menurut Axelrod dan Schultz (1983) serta Effendie (1997), ketika ikan beunteur siap memijah, pasangan tersebut akan menuju ke suatu tempat, kemudian telur yang dikeluarkan akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain.

Makanan utama ikan beunteur adalah Bacillariophyceaea, makanan sekunder Chlorophyceae, dan makanan insidental adalah Insekta (Asyarah, 2006). Selanjutnya Asyarah (2006) juga menyatakan bahwa ikan beunteur bersifat euryphages dimana ikan beunteur kecil (33-52 mm) cenderung herbivora, ikan sedang (53-92 mm) cenderung karnivora, dan ikan besar (93-122 mm) cenderung omnivora.

Untuk teknologi budidaya beunteur sendiri, beberapa orang memberikan alternatif yang berbeda satu sama lainnya. Salah seorang teman saya, pemilik blog Si Beunteur, menggunakan kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm. Berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower untuk membuat pancuran, aliran, dan resirkulasi air; penanaman tumbuhan air berupa rerumputan maupun lainnya sebagai tempat persembunyian dan melekatkan telur (tempat pemijahan); hingga pemasangan tumpukan bebatuan sungai yang juga berfungsi sebagai tempat bersembunyi. Pakan yang digunakan berupa cacing tanah hidup yang sering ditemukan di pelepah batang pisang yang diberikan banyak pada pagi sehingga tidak cepat habis dimakan sampai sore hari. Hasilnya, lebih dari 31 ekor benih berumur kurang dari 30 hari yang kemudian dipelihara dalam akuarium berasosiasi dengan tanaman air Cabomba sp. dan Hidrylla sp. Pakan yang diberikan pada benih setelah dapat berenang adalah berupa kuning telur.

Menurut informasi dari teman saya lainnya diketahui bahwa beunteur yang dimilikinya mampu berkembangbiak di bak mandi tembok hanya dengan memakan lumut yang menempel di dinding saja tanpa pemberian makanan tambahan. Kondisi ini dapat dipahami karena kebiasaan makanannya yang telah disebutkan Asyarah (2006) di atas. Sedangkan menurut diskusi dengan salah seorang peneliti dan praktisi ikan hias, beunteur bisa dibudidayakan juga menggunakan kolam terpal berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air 50 cm. Dasar kolam diberi lumpur setebal + 5 cm sebagai media untuk penanaman tanaman air mencuat yang biasa digunakan beunteur untuk menempelkan telur. Pakan yang diberikan berupa pelet hingga jentik nyamuk untuk indukan dan benih sedangkan sebagai pakan awal benih adalah berupa kotoran ayam kering yang dibungkus kain dengan ukuran 200 gram/m3. Menurut pengakuannya, dari teknologi ini juga telah berhasil mengembangbiakkan ikan beunteur.

Kesimpulan dan permasalahan lainnya

Dari kasus-kasus yang dipaparkan di atas telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya ikan beunteur (Puntius binotatus) merupakan spesies yang mudah beradaptasi dan termasuk mudah dibudidayakan, namun yang menjadi permasalahannya kini adalah:

  1. Bagaimana cara membuat ikan beunteur tersebut bisa memijah sepanjang tahun?
  2. Apa jenis pakan yang paling sesuai untuk mematangkan gonadnya sehingga manajemen pemijahannya bisa kita atur?
  3. Berapa jumlah pakan efektif yang seharusnya diberikan?
  4. Berapa perbandingan jantan-betina (sex ratio) yang tepat dan efektif untuk pemijahan massal ikan beunteur?
  5. Dll.

“Semoga tulisan ini bisa menjadi acuan upaya budidaya (konservasi eksitu) ikan beunteur (Puntius binotatus) secara massal sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekologi maupun ekonominya.” 

[Ruby Vidia Kusumah]

Pustaka

  • Asyarah, D. Q. 2006. Studi Makanan Ikan Beunteur (Puntius binotatus) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat.  Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
  • Axelrod, H. R., G. S. Axelrod, W. E. Burges, B. M. Scott, N. Pronek, and J. G. Walls. 2004. Atlas of Freshwater Aquarium Fishes: Tenth Edition. T.F.H. Publications. 1152p.
  • Axelrod, H. R. dan L. P. Schultz.  1983. Handbook of Tropical Aquarium Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong. 718 p.
  • Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
  • Kusumah, R. V., E. Kusrini, R. Samsudin, S. Cindelaras, Sudarto, dan Hapsoro. 2011. Introduksi Spesies Asing, Apakah Mengancam Kelestarian Ikan-Ikan Sungai Ciliwung?. Makalah dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI, KKP. Bandung, 18 Oktober 2011.
  • Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
  • Roberts, T. R. 1989 . The Freshwater Fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. San Fransisco.
  • Weber, M. dan L. F. de Beaufort. 1931. The Fish of Indo-Australian Archipelago. Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal 187-189.

Senin, 26 Desember 2011

FISHWAY, ikan jalan-jalan, hingga upacara memanggil ikan


Yogyakarta, Sabtu, 17/12/2011, merupakan hari kedua kami (Rita, Febri, Prigi, Jean, Doni, dan saya) mengikuti Training Hidrologi di Kampus MM Magister Sains Teknik UGM. Seperti yang telah disepakati pada hari sebelumnya, bahasan kami pagi hari ini adalah mengenai Fishway serta penerapannya di Indonesia.
Kuliah-pun dibuka Pak Agus Maryono dengan sedikit pemaparan mengenai pentingnya sumberdaya ikan sebagai penyedia sumber protein hewani bagi masyarakat serta beberapa faktor yang mengancam kelestarian populasi ikan di alam, salah satu-nya diakibatkan oleh keberadaan bangunan melintang sungai.
Banyaknya bangunan melintang sungai, mulai dari bendungan, bendung, cek dam, ground sill, dam konsolidasi, serta sabo dam telah memutus jalur migrasi ikan serta organisme akuatik lainnya. Akibatnya, ikan-ikan yang biasanya bisa dengan bebas berenang kemana-pun mereka inginkan menjadi terkurung dalam suatu batas wilayah sungai tertentu tanpa adanya cara untuk keluar dan membebaskan diri. Kondisi ini secara otomatis menjadi ancaman bagi kelestarian populasinya di alam dikarenakan dalam siklus hidupnya  ikan memerlukan migrasi untuk mencari makan, berkembangbiak, serta mencari perlindungan dan habitat hidup pada kondisi perairan yang lebih baik. Seperti halnya ikan salmon yang hidup di banyak Negara beriklim subtropis, pembuatan bangunan-bangunan tambahan yang selanjutnya diistilahkan dengan “fishway” (tangga ikan) menjadi solusi yang dapat mencegah laju penurunan populasi ikan akibat pengaruh keberadaan bangunan melintang yang tidak ramah lingkungan.
Indonesia yang dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman spesies ikan perairan umumnya, termasuk ekosistem perairan sungai, sudah menjadi suatu kewajiban untuk mempercepat penerapan fishway. Menurut pantauan Pak Agus Maryono, Indonesia baru memiliki 4 buah bangunan fishway yang diantaranya terdapat di bangunan Bendung Perjaya Ogan Komering Ulu (Sumsel), Bendung Batang Hari (Sumbar), dan Bendung Wawotobi (Sulsel). Sedangkan bangunan melintang lainnya hanya berfungsi sebagai penyedia air serta penstabil kondisi fisik sungai saja tanpa memperdulikan fungsi ekologis sungai sebagai habitat dari banyak spesies makhluk hidup, khususnya ikan.
Setelah apa yang dipaparkan di atas, lalu yang menjadi pertanyaannya kini adalah “bagaimana dengan bangunan melintang yang sudah ada?”. Menjawab pertanyaan ini, Pak Agus Maryono memberikan beberapa solusi antara lain:
1.       Melengkapi bangunan melintang dengan bangunan fishway
2.      Merenovasi bangunan melintang sehingga memungkinkan terbuka hulu hilir
3.      Membongkar bangunan melintang dengan konstruksi lain yang memungkinkan terjadinya hubungan ekologi-hidraulik hulu-hilir
“Lalu seberapa besar biaya yang diperlukan?”, ahli hidrologi UGM ini-pun selanjutnya menyatakan bahwa untuk membuat sebuah bangunan fishway hanya diperlukan 0,5% dari total biaya pembangunan suatu bangunan melintang sungai. “Mengapa Indonesia tidak menerapkan pada bangunan-bangunan melintang sungai-nya?”, sebenarnya Indonesia telah menerapkannya sejak tahun ‘80-an, namun karena banyaknya masyarakat yang menangkapi ikan saat bermigrasi menggunakan fishway, membuat para pemangku kebijakan memutuskan bahwa masyakat Indonesia belum siap menerima keberadaan teknologi tersebut. Dan sejak saat itu, semua bangunan melintang sungai yang ada Indonesia dibuat tanpa keberadaan fishway, Pak Agus Maryono menjelaskan panjang lebar.
Selain bangunan melintang, bangunan memanjang sungai seperti halnya talud, gorong-gorong, jembatan sempit, pelurusan/sudetan, perombakan material dasar sungai, serta perombakan sempadan sungai juga dinyatakan sebagai bangunan-bangunan lainnya yang ikut mengancam kelestarian populasi ikan di alam. Berbagai dampak mulai dari hilangnya daerah pemijahan ikan hingga perubahan struktur komunitas makroinvertebrata air yang merupakan salah satu sumber makanan ikan, juga menjadi faktor ancaman lain terhadap kelangsungan hidup populasinya di alam. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pak Agus Maryono-pun memberikan solusi mulai dari pembuatan talud ramah lingkungan dimana diantara bangunan beton yang didirikan diberi jarak untuk diselingi pepohonan, misal ceri dan cyperus sp., hingga merenovasi gorong-gorong menjadi lebar serta tercelup ke dalam sungai.
Tidak seluruhnya masuk dalam suasana yang teoritis, kuliah-pun diisi dengan kisah Pak Agus Maryono yang pernah melakukan upacara pemanggilan ikan di Sungai Code, Yogyakarta. Upacara yang diikuti oleh banyak orang ini diawali dengan pembacaan doa yang kemudian dilanjutkan dengan memukul-mukul kerakal kerikil yang sudah tertutupi oleh lumpur sungai menggunakan sapu lidi. Berbagai bumbu masakan mulai dari bawang merah, bawang putih, hingga cabe ditusukkan satu persatu pada sapu lidi lainnya kemudian dicelupkan ke sungai. Sampah-sampah yang ada juga dibersihkan dan terakhir upacara ditutup dengan makan-makan bersama di pinggir sungai. Menurut Pak Agus Maryono, upacara ini terinspirasi dari kebiasaan masyarakat tradisional Jerman untuk memanggil ikan salmon.
Kurang dari pukul 12 siang, kuliah-pun akhirnya selesai. Berbagai informasi mengenai fishway serta penerapannya di Indonesia sudah dipaksa masuk dalam otak kami selama kurang lebih 3 jam dalam ruang perkuliahan. Setidaknya hari ini kami memiliki bekal dan sedikit lebih paham mengenai fishway, tidak seperti hal-nya kondisi semalam dimana dengan candaannya Rita mendefinisikan fishway dengan istilah “ikan jalan-jalan”.
Semoga para pemangku kebijakan akan pengelolaan sungai dapat mempertimbangkan dan segera mengaplikasikan fishway pada banyak bangunan melintang sungai di Indonesia sehingga tidak hanya sekedar tertuang dalam konsep saja. [Ruby Vidia Kusumah - Desember 2011]
Pustaka
Maryono, A. 2008. Rekayasa fishway (tangga ikan). Applied eco-hydraulic. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.