Tidak semua hewan akuatik, khususnya ikan, menghabiskan seluruh
siklus hidupnya hanya di ekosistem air tawar atau laut saja. Beberapa spesies
dilaporkan bermigrasi antara kedua ekosistem tersebut atau lebih dikenal dengan
istilah diadromus.
Katadromus, tumbuh dan besar hingga dewasa di air tawar sedangkan
pemijahannya berlangsung di laut, contoh sidat (Anguillidae). Kondisi
sebaliknya terjadi pada kategori anadromus, dimana proses tumbuh dan besar di
air laut sedangkan pemijahannya di air tawar, contoh salmon (Salmonidae).
Selain dua kategori di atas, terdapat kategori lainnya yang
dikenal dengan istilah amphidromus. Seperti halnya ikan salmon dan sidat,
strategi ini juga melibatkan migrasi antara ekosistem laut dan perairan tawar
dalam siklus hidup spesies-spesiesnya, namun bukan untuk tujuan memijah (Myers,
1949).
Ikan-ikan amphidromus tumbuh, besar, dan memijah di air tawar,
kemudian setelah menetas, larva-nya secara pasif hanyut terbawa aliran sungai
langsung menuju laut. Setelah berusia beberapa minggu atau bahkan bulan,
anak-anak ikan amphidromus ini akan kembali lagi ke air tawar (migrasi) dalam
fase post-larva/juvenil (Keith, 2003). Secara lengkap perbedaan ketiga kategori
ini dijelaskan McDowall (1997) pada Gambar berikut ini.
Pola migrasi antara air tawar dan laut (dimodifikasi dari McDowall, 1997)
Siklus hidup amphidromus dimiliki
oleh beberapa spesies ikan, krustacea, dan gastropoda. Pada ikan, kategori
diadromus ini terdapat pada beberapa spesies ikan gobi (Gobiidae) yang berasal dari
genus Akihito,Cotylopus,Lentipes,Parasicydium,Sicydium,Sicyopterus,Sicyopus,Smilosicyopus, Stiphodon(Sicydiinae), Rhinogobius, dan Awaous.
Pernah denger yang namanya organ labirin (labyrinth organ) pada ikan…?, Belum pernah…?, Tapi, kalau ikan cupang (Betta spp.) tahu kan?, Terus apa hubungannya? ….Nah, organ labirin itu alat nafas tambahan ikan cupang. Layaknya tabung yang digunakan para penyelam, alat ini membantu cupang untuk dapat hidup pada ekosistem perairan dengan kadar oksigen rendah, misal rawa. Dengan adanya organ labirin, spesies-spesies seperti halnya ikan cupang dapat memanfaatkan oksigen langsung dari udara sehingga tidak seluruhnya bergantung dari yang terlarut dalam air.
untuk mengunduh poster berukuran besar
silahkan klik gambar lalu simpan
Ngomong-ngomong soal cupang (Betta spp.),
berdasarkan hasil inventarisasi Tan Heok
Hui yang disampaikan dalam Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA) 2011, Indonesia
ternyata merupakan surganya dari berbagai spesies yang terkenal sebagai ikan
aduan maupun hias ini. Memang berapa total spesies cupang di Indonesia? Tulisan
ini akan membahas mengenai keanekaragaman spesies ikan cupang alam Indonesia.
Ikan cupang (Betta spp.) merupakan anggota terbesar
dari keluarga Osphronemidae yang hanya mendiami kawasan Asia Tenggara. Dari 69 total
spesies yang telah terdeskripsi, 48 (70%) diantaranya dapat ditemukan di
perairan tawar Indonesia dan dari jumlah tersebut, 37 spesies-nya hanya terdapat
(endemik) di Indonesia (Tan Heok Hui, 2011).
Berdasarkan
tingkahlaku reproduksinya, spesies-spesies cupang dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu membangun sarang (bubblenester)
(No. 1-3) dan menjaga telur dalam mulutnya (mouthbrooder)
(No. 4-13). Sedangkan berdasarkan pada
karakter morfologinya mulai dari pola tenggorokan (throat), pola opercle,
pola dan warna sirip, pola dan ukuran tubuh, serta bentuk kepala,
spesies-spesies ini terbagi menjadi 13 kelompok spesies,
yang di Indonesia antara lain terdiri dari:
Kelompok Betta splendens: 1
spesies (Betta imbellis)
Kelompok Betta bellica: 2
spesies (Betta bellica dan Betta simorum)
Kelompok Betta coccina:7 spesies (Betta
coccina, Betta brownorum, Betta miniopinna, Betta sp., Betta rutilans,
Betta burdigala, dan Betta uberis)
Kelompok Betta albimarginata: 2
spesies (Betta albimarginata dan Betta channoides)
Kelompok Betta akarensis: 5
spesies (Betta balunga, Betta aurigans, Betta
pinguis, Betta obscura, dan Betta
antoni)
Kelompok Betta anabatoides: 2
spesies (Betta anabatoides dan Betta midas)
Kelompok Betta dimidiata: 2
spesies (Betta dimidiata dan Betta krataois)
Kelompok Betta edithae: 1
spesies (Betta edithae)
Kelompok Betta foerschi: 4
spesies (Betta mandor, Betta foerschi , Betta
strohi, dan Betta rubra)
Kelompok Betta picta: 3
spesies (Betta picta, Betta falx, dan
Betta taeniata)
Kelompok Betta pugnax: 8
spesies (Betta pugnax, Betta lehi, Betta
fusca, Betta schalleri, Betta enisae, Betta breviobesus, Betta cracens, dan
Betta raja)
Kelompok Betta unimaculata: 6
spesies (Betta ocellata, Betta
unimaculata, Betta patoti, Betta pallifina, Betta compuncta, dan Betta ideii)
Kelompok Betta waseri: 5
spesies (Betta hipposideros, Betta
spilotogena, Betta chloropharynx, Betta renata, dan Betta pardalotos)
Semoga Indonesia yang kaya akan sumberdaya akuatik-nya ini bisa mengelolanya dengan bijak sehingga dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat-nya. Amin
Sumber:
Tan, H. H. 2011.
Diversity of Fighting Fishes - Ikan Cupang. Dipresentasikan dalam Forum Inovasi
dan Teknologi Akuakultur (FITA), Bali, 2011.
Beberapa informasi ini merupakan hasil
inventarisasi yang dilakukan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor untuk
mengenali potensi akuatik yang ada di Sungai Ciliwung dan sebagian telah dipresentasikan
dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI, KKP, Bandung, 18
Oktober 2011 . Kegiatan ini dilakukan melalui pengoleksian secara langsung
maupun berdasarkan hasil wawancara kepada warga bantaran sungai
Ciliwung. Dari kegiatan tersebut telah berhasil terinventarisasi ikan
sebanyak 33 spesies dimana 13 ekor (61%) diantaranya merupakan spesies asing.
Gambar ikan Menga (Brachygobius aggregatus)
Ikan-ikan yang termasuk spesies asli
terdiri dari: Lubang (Anguilla bicolor), Julung-julung (Dermogenys
pusilla), Arelot (Pangio oblonga), Paray (Rasbora aprotaenia),
Beunteur (Puntius binotatus), Tawes (Barbonymus gonionotus), Soro
(Tor soro), Hampal (Hampala macrolepidota), Betok (Anabas
testudineus), Bogo (Channa striata), Betutu (Oxyeleotris
marmorata), Tambakang (Helostoma temminkii), Sepat rawa (Trichopodus
trichopterus), Cupang sawah (Trichopsis vittata),
Senggal (Hemibagruscf.
nemurus), Lele lokal (Clarias batrachus), Kehkel (Glyptothorax
platypogon), Berod (Macrognathus maculatus), dan Belut (Monopterus
albus), sedangkan yang merupakan spesies introduksi antara lain terdiri
dari: ikan Mas (Cyprinus caprio), Koan (Ctenopharyngodon
idella), Koki (Carassius auratus), Nila (Oreochromis
niloticus), Nila merah (Oreochromissp.), Mujair (Oreochromis
mossambicus), Golsom (Aequidens rivulatus), Lele dumbo (Clariassp.), Sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis), Sisik
melik (Xiphophorus hellerii), Bungkreung (Poecilia
reticulatadan Gambusia
affinis), dan Sepat siam (Trichogaster pectoralis).
Berdasarkan penelusuran
yang dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT)
Bogor pada tahun 2007, jenis ikan yang ditemukan di Sungai Ciliwung
diantaranya adalah Baung hitam (senggal), Baung lilin, Hampal, Beunteur,
dan beberapa jenis ikan Loach (komunikasi pribadi). Sedangkan berdasarkan
hasil wawancara dengan Komunitas Ciliwung Bojonggede, beberapa spesies lainnya
juga diketahui mulai dari sili, gehed, patin, bawal, menga (Brachygobius aggregatus),
hingga buntal air tawar pada sekitar tahun '80-an yang mirip dengan spesies dari
Palembang yaitu Tetraodon palembangensis. Dari wawancara ini juga
tercatat hasil tangkapan ikan Mas hingga mencapai bobot 7 kg serta Baung
berbobot 3 kg di Sungai Ciliwung Bojonggede. [Ruby Vidia Kusumah]
Sabtu, 31/12/2011,
sepulang penanaman pohon di bantaran Sungai Ciliwung oleh KPC (Komunitas Peduli
Ciliwung) Bogor, saya menyempatkan diri melihat kolam beunteur (Puntius
binotatus) teman saya yang berlokasi di Sekretariat KALAM (Komunitas Peduli
Kampung Halaman), Tegal Gundil, Bogor. Dari laporannya di blog Si Beunteur,
mereka telah berhasil memijahkan spesies lokal yang banyak diminati masyarakat
sebagai ikan konsumsi ini hanya dengan penerapan teknologi sederhana.
Kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm serta
berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower, penanaman tumbuhan air
berupa rerumputan, hingga pemasangan bebatuan sungai. Jadi intinya bahwa
habitat asli ikan beunteur di sungai berusaha ditiru pada kolam beton tersebut
dengan parameter keberhasilan berupa 31 ekor benih beunteur berumur kurang dari
30 hari.
Gambar Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
Potensi dan
permasalahan
Ikan beunteur (Puntius
binotatus) merupakan spesies lokal dari keluarga Cyprinidae yang banyak
ditemukan di Sungai Ciliwung (Kusumah et al., 2011) maupun sungai
lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Spesies ini banyak diminati masyarakat
karena kelezatannya sebagai ikan konsumsi dimana banyak menu masakan dibuat
dari ikan lokal ini. Menurut Atlas of Freshwater Aquarium Fishes
(Axelrod et. al., 2004), ikan beunteur dimanfaatkan juga sebagai ikan hias
pengisi akuaskap sedangkan berdasar pada kebiasaan masyarakat di bantaran
sungai, spesies ini juga digemari dalam olahraga memancing (sport fishing).
Hingga kini produksi
beunteur masih berasal dari hasil tangkapan alam sedangkan upaya budidayanya
secara massal belum pernah dilakukan. Kondisi ini menyebabkan jumlahnya di
pasaran sangat terbatas dan bersifat musiman sehingga kontinyuitas
pemanfaatannya tidak dapat tersedia sepanjang waktu. Akibatnya, hanya pada
musim-musim tertentu saja ikan ini bisa dikonsumsi masyarakat.
Konservasi eksitu
Ketika eksploitasi
suatu spesies makhluk hidup di alam terus dilakukan tanpa memperhitungkan
informasi mengenai dinamika populasinya (kematian, rekruitmen, ukuran populasi,
dll), ditambah lagi berbagai bentuk ancaman lainnya mulai dari kerusakan
habitat, introduksi spesies asing, serta pencemaran yang terjadi di habitat
aslinya akan menjadi faktor yang mempercepat penurunan populasinya di alam.
Tanpa upaya pengelolaan yang tepat, misal pelarangan tangkap saat musim
pemijahan hingga pembuatan suaka perikanan, kelestarian spesies-spesies
tersebut di masa yang akan datang tidak dapat terjamin dari generasi satu ke
generasi lainnya. Pada kondisi ekstrim, keberadaan spesies makhluk hidup ini
menjadi lebih cepat punah.
Budidaya merupakan
alternatif upaya konservasi yang dapat dilakukan secara eksitu dimana suatu
spesies dilestarikan dan dilindungi dengan cara ditangkarkan di luar habitat
aslinya. Dengan adanya upaya ini eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di
alam dapat dikurangi sehingga kelestarian populasinya bisa terjaga. Selain itu,
keuntungan lainnya adalah berupa kontinyuitas pemanfaatan yang bisa berlangsung
secara berkelanjutan (tidak bersifat musiman) dikarenakan produksinya bisa
diatur melalui segmentasi proses budidaya.
Biologi dan teknologi
budidaya
Beunteur tergolong
ikan benthopelagik (tinggal di dasar hingga kolom perairan), hidup di perairan
tawar daerah tropis dengan kisaran suhu 24-26ÂșC dan pH perairan 6,0-6,5
(Roberts, 1989). Ikan ini umumnya ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan
tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Berdasarkan Ekspedisi Ikan Ciliwung
oleh KPC, di Sungai Ciliwung, beunteur banyak ditemukan di bagian tepi sungai
yang tidak terlalu dalam dan terhalangi oleh batuan besar sungai serta sampah
anorganik yang membuat arus tidak mengalir deras. Akibatnya mereka bisa
mendiami habitat tersebut dengan nyaman. Sedangkan anakan beunteur banyak
ditemukan di daerah tepian sungai berupa genangan yang dialiri air jernih
berarus sangat pelan, dangkal, tertutup bebatuan sungai berukuran kecil hingga
besar, serta ditumbuhi tanaman air berupa rerumputan yang tumbuh dari dasar
hingga mencuat ke atas permukaan perairan (KPC, 2011, unpublished).
Beunteur jantan
matang gonad pertama kali pada ukuran 50 mm sedangkan betina pada ukuran
56 mm dengan fekunditas berkisar antara 168 -10.858 butir (Rahmawati, 2006). Selanjutnya Rahmawati (2006) menambahkan bahwa berdasarkan sebaran
diameter telur-nya ikan beunteur diduga termasuk dalam kategori total spawner (saat memijah telur
dikeluarkan seluruhnya, tidak sebagian-sebagian). Sedangkan menurut
Axelrod dan Schultz (1983) serta Effendie (1997), ketika ikan beunteur siap memijah,
pasangan tersebut akan menuju ke suatu tempat, kemudian telur yang dikeluarkan
akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain.
Makanan utama ikan beunteur adalah Bacillariophyceaea, makanan sekunder
Chlorophyceae, dan makanan insidental adalah Insekta (Asyarah, 2006). Selanjutnya Asyarah
(2006) juga menyatakan bahwa ikan beunteur bersifat euryphages dimana ikan beunteur kecil (33-52 mm) cenderung
herbivora, ikan sedang (53-92 mm) cenderung karnivora, dan ikan besar (93-122 mm)
cenderung omnivora.
Untuk teknologi
budidaya beunteur sendiri, beberapa orang memberikan alternatif yang berbeda
satu sama lainnya. Salah seorang teman saya, pemilik blog Si Beunteur,
menggunakan kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air +
40 cm. Berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower untuk membuat
pancuran, aliran, dan resirkulasi air; penanaman tumbuhan air berupa rerumputan
maupun lainnya sebagai tempat persembunyian dan melekatkan telur (tempat
pemijahan); hingga pemasangan tumpukan bebatuan sungai yang juga berfungsi
sebagai tempat bersembunyi. Pakan yang digunakan
berupa cacing tanah hidup yang sering ditemukan di pelepah batang pisang yang
diberikan banyak pada pagi sehingga tidak cepat habis dimakan sampai sore hari.
Hasilnya, lebih dari 31 ekor benih berumur kurang dari 30 hari yang
kemudian dipelihara dalam akuarium berasosiasi dengan tanaman air Cabomba sp. dan Hidrylla sp. Pakan yang diberikan pada benih setelah dapat berenang
adalah berupa kuning telur.
Menurut informasi
dari teman saya lainnya diketahui bahwa beunteur yang dimilikinya mampu
berkembangbiak di bak mandi tembok hanya dengan memakan lumut yang menempel di
dinding saja tanpa pemberian makanan tambahan. Kondisi ini dapat dipahami
karena kebiasaan makanannya yang telah disebutkan Asyarah (2006) di atas. Sedangkan menurut diskusi dengan salah
seorang peneliti dan praktisi ikan hias, beunteur bisa dibudidayakan juga
menggunakan kolam terpal berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air 50
cm. Dasar kolam diberi lumpur setebal + 5 cm sebagai media untuk
penanaman tanaman air mencuat yang biasa digunakan beunteur untuk menempelkan
telur. Pakan yang diberikan berupa pelet hingga jentik nyamuk untuk indukan dan
benih sedangkan sebagai pakan awal benih adalah berupa kotoran ayam kering yang
dibungkus kain dengan ukuran 200 gram/m3. Menurut pengakuannya, dari
teknologi ini juga telah berhasil mengembangbiakkan ikan beunteur.
Kesimpulan dan
permasalahan lainnya
Dari kasus-kasus yang
dipaparkan di atas telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya ikan
beunteur (Puntius binotatus)
merupakan spesies yang mudah beradaptasi dan termasuk mudah dibudidayakan,
namun yang menjadi permasalahannya kini adalah:
Bagaimana cara
membuat ikan beunteur tersebut bisa memijah sepanjang tahun?
Apa jenis pakan
yang paling sesuai untuk mematangkan gonadnya sehingga manajemen
pemijahannya bisa kita atur?
Berapa jumlah
pakan efektif yang seharusnya diberikan?
Berapa
perbandingan jantan-betina (sex ratio) yang tepat dan efektif untuk
pemijahan massal ikan beunteur?
Dll.
“Semoga tulisan ini
bisa menjadi acuan upaya budidaya (konservasi eksitu) ikan beunteur (Puntius
binotatus) secara massal sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
ekologi maupun ekonominya.”
[Ruby
Vidia Kusumah]
Pustaka
Asyarah, D. Q. 2006. Studi Makanan
Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Axelrod, H. R., G. S. Axelrod, W.
E. Burges, B. M. Scott, N. Pronek, and J. G. Walls. 2004. Atlas of Freshwater Aquarium Fishes:
Tenth Edition. T.F.H. Publications. 1152p.
Axelrod, H. R. dan L. P.
Schultz. 1983. Handbook of
Tropical Aquarium Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong.
718 p.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
Kusumah, R. V., E. Kusrini, R.
Samsudin, S. Cindelaras, Sudarto, dan Hapsoro. 2011. Introduksi Spesies
Asing, Apakah Mengancam Kelestarian Ikan-Ikan Sungai Ciliwung?. Makalah
dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI,
KKP. Bandung, 18 Oktober 2011.
Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi
Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius
binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi.
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Roberts, T. R. 1989 . The Freshwater Fishes of Western Borneo
(Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. San
Fransisco.
Weber, M. dan L. F. de Beaufort.
1931. The Fish of Indo-Australian
Archipelago. Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal
187-189.
Yogyakarta, Sabtu, 17/12/2011, merupakan
hari kedua kami (Rita, Febri, Prigi, Jean, Doni, dan saya) mengikuti Training
Hidrologi di Kampus MM Magister
Sains Teknik UGM. Seperti yang
telah disepakati pada hari sebelumnya, bahasan kami pagi hari ini adalah
mengenai Fishway serta penerapannya di Indonesia.
Kuliah-pun
dibuka Pak Agus Maryono dengan sedikit pemaparan mengenai pentingnya sumberdaya
ikan sebagai penyedia sumber protein hewani bagi masyarakat serta beberapa
faktor yang mengancam kelestarian populasi ikan di alam, salah satu-nya
diakibatkan oleh keberadaan bangunan melintang sungai.
Banyaknya
bangunan melintang sungai, mulai dari bendungan, bendung, cek dam, ground sill, dam konsolidasi, serta sabo
dam telah memutus jalur migrasi ikan serta organisme akuatik lainnya. Akibatnya,
ikan-ikan yang biasanya bisa dengan bebas berenang kemana-pun mereka inginkan menjadi
terkurung dalam suatu batas wilayah sungai tertentu tanpa adanya cara untuk
keluar dan membebaskan diri. Kondisi ini secara otomatis menjadi ancaman bagi
kelestarian populasinya di alam dikarenakan dalam siklus hidupnya ikan memerlukan migrasi untuk mencari makan,
berkembangbiak, serta mencari perlindungan dan habitat hidup pada kondisi
perairan yang lebih baik. Seperti halnya ikan salmon yang hidup di banyak
Negara beriklim subtropis, pembuatan bangunan-bangunan tambahan yang
selanjutnya diistilahkan dengan “fishway” (tangga ikan) menjadi solusi yang
dapat mencegah laju penurunan populasi ikan akibat pengaruh keberadaan bangunan
melintang yang tidak ramah lingkungan.
Indonesia
yang dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman spesies ikan perairan umumnya,
termasuk ekosistem perairan sungai, sudah menjadi suatu kewajiban untuk mempercepat
penerapan fishway. Menurut pantauan Pak Agus Maryono, Indonesia baru memiliki 4
buah bangunan fishway yang diantaranya terdapat di bangunan Bendung Perjaya Ogan
Komering Ulu (Sumsel), Bendung Batang Hari (Sumbar), dan Bendung Wawotobi
(Sulsel). Sedangkan bangunan melintang lainnya hanya berfungsi sebagai penyedia
air serta penstabil kondisi fisik sungai saja tanpa memperdulikan fungsi
ekologis sungai sebagai habitat dari banyak spesies makhluk hidup, khususnya
ikan.
Setelah
apa yang dipaparkan di atas, lalu yang menjadi pertanyaannya kini adalah “bagaimana dengan bangunan melintang yang
sudah ada?”. Menjawab pertanyaan ini, Pak Agus Maryono memberikan beberapa solusi
antara lain:
1.Melengkapi bangunan melintang dengan bangunan
fishway
2.Merenovasi bangunan melintang sehingga
memungkinkan terbuka hulu hilir
3.Membongkar bangunan melintang dengan
konstruksi lain yang memungkinkan terjadinya hubungan ekologi-hidraulik
hulu-hilir
“Lalu seberapa besar biaya
yang diperlukan?”, ahli
hidrologi UGM ini-pun selanjutnya menyatakan bahwa untuk membuat sebuah
bangunan fishway hanya diperlukan 0,5% dari total biaya pembangunan suatu
bangunan melintang sungai. “Mengapa Indonesia
tidak menerapkan pada bangunan-bangunan melintang sungai-nya?”, sebenarnya Indonesia
telah menerapkannya sejak tahun ‘80-an, namun karena banyaknya masyarakat yang
menangkapi ikan saat bermigrasi menggunakan fishway, membuat para pemangku
kebijakan memutuskan bahwa masyakat Indonesia belum siap menerima keberadaan teknologi
tersebut. Dan sejak saat itu, semua bangunan melintang sungai yang ada Indonesia
dibuat tanpa keberadaan fishway, Pak Agus Maryono menjelaskan panjang lebar.
Selain
bangunan melintang, bangunan memanjang sungai seperti halnya talud,
gorong-gorong, jembatan sempit, pelurusan/sudetan, perombakan material dasar
sungai, serta perombakan sempadan sungai juga dinyatakan sebagai bangunan-bangunan
lainnya yang ikut mengancam kelestarian populasi ikan di alam. Berbagai dampak
mulai dari hilangnya daerah pemijahan ikan hingga perubahan struktur komunitas makroinvertebrata
air yang merupakan salah satu sumber makanan ikan, juga menjadi faktor ancaman lain
terhadap kelangsungan hidup populasinya di alam. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, Pak Agus Maryono-pun memberikan solusi mulai dari pembuatan talud
ramah lingkungan dimana diantara bangunan beton yang didirikan diberi jarak
untuk diselingi pepohonan, misal ceri dan cyperus
sp., hingga merenovasi gorong-gorong menjadi lebar serta tercelup ke dalam sungai.
Tidak
seluruhnya masuk dalam suasana yang teoritis, kuliah-pun diisi dengan kisah Pak
Agus Maryono yang pernah melakukan upacara pemanggilan ikan di Sungai Code, Yogyakarta.
Upacara yang diikuti oleh banyak orang ini diawali dengan pembacaan doa yang kemudian
dilanjutkan dengan memukul-mukul kerakal kerikil yang sudah tertutupi oleh
lumpur sungai menggunakan sapu lidi. Berbagai bumbu masakan mulai dari bawang
merah, bawang putih, hingga cabe ditusukkan satu persatu pada sapu lidi lainnya
kemudian dicelupkan ke sungai. Sampah-sampah yang ada juga dibersihkan dan terakhir
upacara ditutup dengan makan-makan bersama di pinggir sungai. Menurut Pak Agus
Maryono, upacara ini terinspirasi dari kebiasaan masyarakat tradisional Jerman untuk
memanggil ikan salmon.
Kurang
dari pukul 12 siang, kuliah-pun akhirnya selesai. Berbagai informasi mengenai
fishway serta penerapannya di Indonesia sudah dipaksa masuk dalam otak kami
selama kurang lebih 3 jam dalam ruang perkuliahan. Setidaknya hari ini kami memiliki
bekal dan sedikit lebih paham mengenai fishway, tidak seperti hal-nya kondisi
semalam dimana dengan candaannya Rita mendefinisikan fishway dengan istilah
“ikan jalan-jalan”.
Semoga para pemangku
kebijakan akan pengelolaan sungai dapat mempertimbangkan dan segera mengaplikasikan
fishway pada banyak bangunan melintang sungai di Indonesia sehingga tidak hanya
sekedar tertuang dalam konsep saja.[Ruby Vidia Kusumah - Desember 2011]
Pustaka
Maryono, A.
2008. Rekayasa fishway (tangga ikan). Applied eco-hydraulic. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.