Sabtu, 31/12/2011,
sepulang penanaman pohon di bantaran Sungai Ciliwung oleh KPC (Komunitas Peduli
Ciliwung) Bogor, saya menyempatkan diri melihat kolam beunteur (Puntius
binotatus) teman saya yang berlokasi di Sekretariat KALAM (Komunitas Peduli
Kampung Halaman), Tegal Gundil, Bogor. Dari laporannya di blog Si Beunteur,
mereka telah berhasil memijahkan spesies lokal yang banyak diminati masyarakat
sebagai ikan konsumsi ini hanya dengan penerapan teknologi sederhana.
Kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm serta
berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower, penanaman tumbuhan air
berupa rerumputan, hingga pemasangan bebatuan sungai. Jadi intinya bahwa
habitat asli ikan beunteur di sungai berusaha ditiru pada kolam beton tersebut
dengan parameter keberhasilan berupa 31 ekor benih beunteur berumur kurang dari
30 hari.
|
Gambar Ikan Beunteur (Puntius binotatus) |
Potensi dan
permasalahan
Ikan beunteur (Puntius
binotatus) merupakan spesies lokal dari keluarga Cyprinidae yang banyak
ditemukan di Sungai Ciliwung (Kusumah et al., 2011) maupun sungai
lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Spesies ini banyak diminati masyarakat
karena kelezatannya sebagai ikan konsumsi dimana banyak menu masakan dibuat
dari ikan lokal ini. Menurut Atlas of Freshwater Aquarium Fishes
(Axelrod et. al., 2004), ikan beunteur dimanfaatkan juga sebagai ikan hias
pengisi akuaskap sedangkan berdasar pada kebiasaan masyarakat di bantaran
sungai, spesies ini juga digemari dalam olahraga memancing (sport fishing).
Hingga kini produksi
beunteur masih berasal dari hasil tangkapan alam sedangkan upaya budidayanya
secara massal belum pernah dilakukan. Kondisi ini menyebabkan jumlahnya di
pasaran sangat terbatas dan bersifat musiman sehingga kontinyuitas
pemanfaatannya tidak dapat tersedia sepanjang waktu. Akibatnya, hanya pada
musim-musim tertentu saja ikan ini bisa dikonsumsi masyarakat.
Konservasi eksitu
Ketika eksploitasi
suatu spesies makhluk hidup di alam terus dilakukan tanpa memperhitungkan
informasi mengenai dinamika populasinya (kematian, rekruitmen, ukuran populasi,
dll), ditambah lagi berbagai bentuk ancaman lainnya mulai dari kerusakan
habitat, introduksi spesies asing, serta pencemaran yang terjadi di habitat
aslinya akan menjadi faktor yang mempercepat penurunan populasinya di alam.
Tanpa upaya pengelolaan yang tepat, misal pelarangan tangkap saat musim
pemijahan hingga pembuatan suaka perikanan, kelestarian spesies-spesies
tersebut di masa yang akan datang tidak dapat terjamin dari generasi satu ke
generasi lainnya. Pada kondisi ekstrim, keberadaan spesies makhluk hidup ini
menjadi lebih cepat punah.
Budidaya merupakan
alternatif upaya konservasi yang dapat dilakukan secara eksitu dimana suatu
spesies dilestarikan dan dilindungi dengan cara ditangkarkan di luar habitat
aslinya. Dengan adanya upaya ini eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di
alam dapat dikurangi sehingga kelestarian populasinya bisa terjaga. Selain itu,
keuntungan lainnya adalah berupa kontinyuitas pemanfaatan yang bisa berlangsung
secara berkelanjutan (tidak bersifat musiman) dikarenakan produksinya bisa
diatur melalui segmentasi proses budidaya.
Biologi dan teknologi
budidaya
Beunteur tergolong
ikan benthopelagik (tinggal di dasar hingga kolom perairan), hidup di perairan
tawar daerah tropis dengan kisaran suhu 24-26ÂșC dan pH perairan 6,0-6,5
(Roberts, 1989). Ikan ini umumnya ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan
tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Berdasarkan Ekspedisi Ikan Ciliwung
oleh KPC, di Sungai Ciliwung, beunteur banyak ditemukan di bagian tepi sungai
yang tidak terlalu dalam dan terhalangi oleh batuan besar sungai serta sampah
anorganik yang membuat arus tidak mengalir deras. Akibatnya mereka bisa
mendiami habitat tersebut dengan nyaman. Sedangkan anakan beunteur banyak
ditemukan di daerah tepian sungai berupa genangan yang dialiri air jernih
berarus sangat pelan, dangkal, tertutup bebatuan sungai berukuran kecil hingga
besar, serta ditumbuhi tanaman air berupa rerumputan yang tumbuh dari dasar
hingga mencuat ke atas permukaan perairan (KPC, 2011, unpublished).
Beunteur jantan
matang gonad pertama kali pada ukuran 50 mm sedangkan betina pada ukuran
56 mm dengan fekunditas berkisar antara 168 -10.858 butir (Rahmawati, 2006). Selanjutnya Rahmawati (2006) menambahkan bahwa berdasarkan sebaran
diameter telur-nya ikan beunteur diduga termasuk dalam kategori total spawner (saat memijah telur
dikeluarkan seluruhnya, tidak sebagian-sebagian). Sedangkan menurut
Axelrod dan Schultz (1983) serta Effendie (1997), ketika ikan beunteur siap memijah,
pasangan tersebut akan menuju ke suatu tempat, kemudian telur yang dikeluarkan
akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain.
Makanan utama ikan beunteur adalah Bacillariophyceaea, makanan sekunder
Chlorophyceae, dan makanan insidental adalah Insekta (Asyarah, 2006). Selanjutnya Asyarah
(2006) juga menyatakan bahwa ikan beunteur bersifat euryphages dimana ikan beunteur kecil (33-52 mm) cenderung
herbivora, ikan sedang (53-92 mm) cenderung karnivora, dan ikan besar (93-122 mm)
cenderung omnivora.
Untuk teknologi
budidaya beunteur sendiri, beberapa orang memberikan alternatif yang berbeda
satu sama lainnya. Salah seorang teman saya, pemilik blog Si Beunteur,
menggunakan kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air +
40 cm. Berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower untuk membuat
pancuran, aliran, dan resirkulasi air; penanaman tumbuhan air berupa rerumputan
maupun lainnya sebagai tempat persembunyian dan melekatkan telur (tempat
pemijahan); hingga pemasangan tumpukan bebatuan sungai yang juga berfungsi
sebagai tempat bersembunyi. Pakan yang digunakan
berupa cacing tanah hidup yang sering ditemukan di pelepah batang pisang yang
diberikan banyak pada pagi sehingga tidak cepat habis dimakan sampai sore hari.
Hasilnya, lebih dari 31 ekor benih berumur kurang dari 30 hari yang
kemudian dipelihara dalam akuarium berasosiasi dengan tanaman air Cabomba sp. dan Hidrylla sp. Pakan yang diberikan pada benih setelah dapat berenang
adalah berupa kuning telur.
Menurut informasi
dari teman saya lainnya diketahui bahwa beunteur yang dimilikinya mampu
berkembangbiak di bak mandi tembok hanya dengan memakan lumut yang menempel di
dinding saja tanpa pemberian makanan tambahan. Kondisi ini dapat dipahami
karena kebiasaan makanannya yang telah disebutkan Asyarah (2006) di atas. Sedangkan menurut diskusi dengan salah
seorang peneliti dan praktisi ikan hias, beunteur bisa dibudidayakan juga
menggunakan kolam terpal berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air 50
cm. Dasar kolam diberi lumpur setebal + 5 cm sebagai media untuk
penanaman tanaman air mencuat yang biasa digunakan beunteur untuk menempelkan
telur. Pakan yang diberikan berupa pelet hingga jentik nyamuk untuk indukan dan
benih sedangkan sebagai pakan awal benih adalah berupa kotoran ayam kering yang
dibungkus kain dengan ukuran 200 gram/m3. Menurut pengakuannya, dari
teknologi ini juga telah berhasil mengembangbiakkan ikan beunteur.
Kesimpulan dan
permasalahan lainnya
Dari kasus-kasus yang
dipaparkan di atas telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya ikan
beunteur (Puntius binotatus)
merupakan spesies yang mudah beradaptasi dan termasuk mudah dibudidayakan,
namun yang menjadi permasalahannya kini adalah:
- Bagaimana cara
membuat ikan beunteur tersebut bisa memijah sepanjang tahun?
- Apa jenis pakan
yang paling sesuai untuk mematangkan gonadnya sehingga manajemen
pemijahannya bisa kita atur?
- Berapa jumlah
pakan efektif yang seharusnya diberikan?
- Berapa
perbandingan jantan-betina (sex ratio) yang tepat dan efektif untuk
pemijahan massal ikan beunteur?
- Dll.
“Semoga tulisan ini
bisa menjadi acuan upaya budidaya (konservasi eksitu) ikan beunteur (Puntius
binotatus) secara massal sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
ekologi maupun ekonominya.”
[Ruby
Vidia Kusumah]
Pustaka
- Asyarah, D. Q. 2006. Studi Makanan
Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Tidak Dipublikasikan.
- Axelrod, H. R., G. S. Axelrod, W.
E. Burges, B. M. Scott, N. Pronek, and J. G. Walls. 2004. Atlas of Freshwater Aquarium Fishes:
Tenth Edition. T.F.H. Publications. 1152p.
- Axelrod, H. R. dan L. P.
Schultz. 1983. Handbook of
Tropical Aquarium Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong.
718 p.
- Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
- Kusumah, R. V., E. Kusrini, R.
Samsudin, S. Cindelaras, Sudarto, dan Hapsoro. 2011. Introduksi Spesies
Asing, Apakah Mengancam Kelestarian Ikan-Ikan Sungai Ciliwung?. Makalah
dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI,
KKP. Bandung, 18 Oktober 2011.
- Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi
Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius
binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi.
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
- Roberts, T. R. 1989 . The Freshwater Fishes of Western Borneo
(Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. San
Fransisco.
- Weber, M. dan L. F. de Beaufort.
1931. The Fish of Indo-Australian
Archipelago. Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal
187-189.