Senin, 30 Januari 2012

Fishway... apakah sebuah kebutuhan?

jalur migrasi terhambat bangunan melintang
Suatu makhluk dikatakan hidup jika diantaranya memiliki ciri dapat tumbuh dan berkembangbiak. Untuk menunjang kebutuhannya tersebut, suatu spesies makhluk hidup memerlukan berbagai faktor pendukung mulai dari makanan hingga lingkungan yang sesuai. Sebagai suatu strategi, makhluk hidup ini akan berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya untuk memperoleh faktor-faktor tersebut yang kemudian diistilahkan dengan migrasi. Diantara sekian banyak spesies makhluk hidup yang bermigrasi, ikan termasuk salah satu diantaranya.

Ikan tidak dapat berpindah tempat
Dalam suatu sistem sungai, migrasi ikan dapat dilakukan mulai dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya dengan tujuan untuk mencari makan hingga tempat memijah. Dalam perjalanannya menuju suatu tempat tertentu, seringkali banyak rintangan yang harus dilalui ikan mulai dari predator hingga berbagai hambatan lainnya yang disebabkan oleh faktor anthropogenik (manusia), salah satu diantaranya adalah berupa bangunan melintang ataupun memanjang.


Penurunan populasi ikan dari tahun ke tahun
Keberadaan bangunan-bangunan seperti halnya bendungan maupun talud, menyebabkan ikan-ikan seolah berada dalam suatu “kurungan besar” pada batas wilayah sungai tertentu. Ketika faktor pendukung yang disebutkan di atas berkurang, habis, ataupun rusak, ikan tidak mendapatkan solusi lain dengan cara berpindah ke tempat lainnya untuk mencari habitat hidup yang lebih layak. Akibatnya populasi ikan-ikan di habitat tersebut lambat laun mengalami penyusutan dari tahun ke tahun yang akhirnya mengantarkan spesiesnya pada kepunahan.

Fishway sebagai solusi

Penerapan teknologi ramah lingkungan yang memperhitungkan keberadaan sumberdaya akuatik termasuk kelestariannya sudah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan wajib diaplikasikan pada bangunan melintang dan memanjang sungai. Fishway atau tangga ikan merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan pada suatu bangunan sungai yang sudah atau baru akan dibuat. Dengan keberadaan bangunan tambahan ini diharapkan siklus  migrasi ikan tidak terputus sehingga ikan dapat terus tumbuh dan berkembangbiak tanpa adanya faktor ancaman tersebut.

[Ruby Vidia Kusumah]

Jumat, 27 Januari 2012

Cupang dari Kacamata Ekonomi dan Ekologi

Jumat, 20/1/2012, kebetulan saya dan enam teman sekantor berkesempatan mengunjungi dua eksportir ikan cupang alam (wild betta) yang berlokasi di Cilandak, Jakarta Selatan dan Sunter, Jakarta Utara. Jika anda termasuk salah seorang pecinta ikan cupang (Betta sp.) mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Pak Sahal dan Pak Joty Atmadjaja. Tulisan ini akan memberikan sedikit gambaran mengenai betapa besar dan berharganya potensi sumberdaya akuatik Indonesia jika bisa dikelola dengan benar dan bijak. Dan satu hal lagi yang perlu diingat, ini barulah berasal dari keluarga ikan cupang belum spesies-spesies dari famili lainnya.

Betta foerschi

Cupang dalam rak kayu

Siang hari itu sekitar pukul 10 pagi akhirnya kami tiba di rumah kediaman Pak Sahal, eksportir pertama yang kami kunjungi. Beberapa kolam tembok berukuran + 2 x 2 m2 dengan ketinggian air sekitar 40 cm tampak terpajang di sebidang lahan yang beliau ubah menjadi tempat koleksi sekaligus pembudidayaannya. Di salah satu sudut lahan tampak suatu pondok kayu dengan susunan rak kayu berisikan botol-botol akua sebagai tempat pemeliharaan ikan cupang yang akan diekspor. Dari bangunan tersebut terpajang beberapa spesies cupang alam mulai dari Betta sp. Antuta, Betta strohi, Betta ocellata, Betta anabatoides, dan Betta foerschi. Sedangkan pada rak lainnya tampak Betta dimidiata jantan sedang menjaga larva di mulutnya. “Kalau Betta rubra, Betta channoides, dan Betta albimarginata saya pijahin semua di kolam”, ujar Pak Sahal yang langsung membawa saya menuju kolam tembok pemijahan.

“Pak, memang jenis cupang alam apa saja yang sudah dipijahin?”, tanya saya penasaran. Tampak mengingat-ingat, Pak Sahal-pun mencoba menjawab secara perlahan, “Betta dimidiata, Betta channoides, Betta albimarginata, Betta rubra, Betta patoti, Betta edithae, Betta bellica, Betta persephone, Betta uberis, Betta rutilan, Betta brownorum”. “Kalau Si Ian di Bogor, lebih dari 30-an jenis yang pernah saya koleksi mungkin sudah bisa dipijahin semua”, Pak Sahal menambahkan.

Dari sekian banyak spesies yang dikoleksi dan dibudidayakan Pak Sahal, ada satu spesies yang menarik perhatian saya. “Pak kok ada spesies antuta sih?”, tanya saya penasaran karena dari daftar seluruh ikan cupang yang ada di dunia, tidak pernah disebutkan keberadaan spesies ini. “Oh antuta itu nama yang saya berikan kepada ikan cupang yang berasal dari sungai di pegunungan Hantutan, Kalimantan Timur. Saya hilangin aja huruf “H” di depan dan “N” dibelakang-nya jadinya antuta”, jawab Pak Sahal. “Menurut peneliti dari Perancis kemungkinan ini merupakan spesies baru karena berbeda”, Pak Sahal menambahkan. “Wah berarti masih banyak spesies cupang Indonesia yang belum teridentifikasi dan diberi nama donk?”, tanya saya dalam hati.

10 besar penjualan

“Kalau sepuluh besar cupang alam yang bapak ekspor apa ya?”, tanya saya di akhir kunjungan kami. “Sepuluh jenis yang biasa saya ekspor…, Betta sp. Antuta (Hantutan), Betta pallifina, Betta dimidiata, Betta rubra, Betta unimaculata, Betta krataois, Betta mandor, Betta patoti, Betta ocellata, Betta pershephone”, jawab Pak Sahal. “Betta patoti yang paling populer karena setiap kali pengiriman selalu ada permintaan untuk jenis ini”, lanjut Pak Sahal. Dari hasil wawancara ini, Pak Sahal juga menyebutkan kisaran harga ekspor ikan cupang alam-nya tersebut yang bernilai antara US$ 35-75 per ekor. Sedangkan pada kunjungan ke lokasi kedua, Pak Joty Atmadjaja menyebutkan sepuluh besar komoditas ekspor-nya yang terdiri dari: Betta macrostoma, Betta rubra, Betta channoides, Betta patoti, Betta albimarginata, Betta imbellis, Betta ocellata, Betta unimaculata, Betta chloroparynx, dan Betta bellica dengan nilai jual tertinggi seharga US$ 125 per ekor.

Terancam kepunahan

Menurut penuturan Pak Sahal, banyak spesies cupang alam kini tengah mengalami ancaman kepunahan karena maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit serta penambangan batubara. “Dari beberapa lokasi ekspedisi yang pernah kami kunjungi, beberapa diantaranya sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit”, tutur Pak Sahal menyayangkan. Sedangkan pada laporannya yang dilansir dalam xtrembetta.com, Pak Sahal melaporkan bahwa pada tahun 2010 habitat B. albimarginata di Sungai Sesayap musnah oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2011 pada lokasi cupang alam yang berasal dari Loreh dan Berau. Di akhir laporannya, Pak Sahal mencoba mengajak untuk mulai melakukan budidaya cupang alam.

Microsorium sp. trident
Sumberdaya akuatik ekspor lainnya

Selain ikan cupang, sumberdaya akuatik asli Indonesia lainnya yang menjadi perhatian serta diekspor Pak Sahal adalah tanaman air. Dari akuarium yang terpajang tampak Elepaglosis??? yang berasal dari Bulungan, Kalimantan; Silverline?????, serta Bucephalandra sp. dan Microsorum sp. trident yang berasal dari Malinau Utara, Kalimantan Timur. "Menarik juga kekayaan alam ini jika bisa dikelola dengan bijak", ucap saya dalam hati.

[Ruby Vidia Kusumah]

Foto oleh: Sawung Cindelaras

Kamis, 19 Januari 2012

Keanekaragaman Jenis “Si Tukang Berantem”

Pernah denger yang namanya organ labirin (labyrinth organ) pada ikan…?, Belum pernah…?, Tapi, kalau ikan cupang (Betta spp.) tahu kan?, Terus apa hubungannya? ….Nah, organ labirin itu alat nafas tambahan ikan cupang. Layaknya tabung yang digunakan para penyelam, alat ini membantu cupang untuk dapat hidup pada ekosistem perairan dengan kadar oksigen rendah, misal rawa. Dengan adanya organ labirin, spesies-spesies seperti halnya ikan cupang dapat memanfaatkan oksigen langsung dari udara sehingga tidak seluruhnya bergantung dari yang terlarut dalam air.
untuk mengunduh poster berukuran besar
silahkan klik gambar lalu simpan
Ngomong-ngomong soal cupang (Betta spp.), berdasarkan hasil inventarisasi  Tan Heok Hui yang disampaikan dalam Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA) 2011, Indonesia ternyata merupakan surganya dari berbagai spesies yang terkenal sebagai ikan aduan maupun hias ini. Memang berapa total spesies cupang di Indonesia? Tulisan ini akan membahas mengenai keanekaragaman spesies ikan cupang alam Indonesia.


Ikan cupang (Betta spp.) merupakan anggota terbesar dari keluarga Osphronemidae yang hanya mendiami kawasan Asia Tenggara. Dari 69 total spesies yang telah terdeskripsi, 48 (70%) diantaranya dapat ditemukan di perairan tawar Indonesia dan dari jumlah tersebut, 37 spesies-nya hanya terdapat (endemik) di Indonesia (Tan Heok Hui, 2011).
Berdasarkan tingkahlaku reproduksinya, spesies-spesies cupang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu membangun sarang (bubblenester) (No. 1-3) dan menjaga telur dalam mulutnya (mouthbrooder) (No. 4-13). Sedangkan berdasarkan pada karakter morfologinya mulai dari pola tenggorokan (throat), pola opercle, pola dan warna sirip, pola dan ukuran tubuh, serta bentuk kepala, spesies-spesies ini terbagi menjadi 13 kelompok spesies, yang di Indonesia antara lain terdiri dari:
  1. Kelompok Betta splendens: 1 spesies (Betta imbellis)
  2. Kelompok Betta bellica: 2 spesies (Betta bellica dan Betta simorum)
  3. Kelompok Betta coccina: 7 spesies (Betta coccina, Betta brownorum, Betta miniopinna, Betta sp., Betta rutilans, Betta burdigala, dan Betta uberis)
  4. Kelompok Betta albimarginata: 2 spesies (Betta albimarginata dan Betta channoides)
  5. Kelompok Betta akarensis: 5 spesies (Betta balunga, Betta aurigans, Betta pinguis, Betta obscura, dan Betta antoni)
  6. Kelompok Betta anabatoides: 2 spesies (Betta anabatoides dan Betta midas)
  7. Kelompok Betta dimidiata: 2 spesies (Betta dimidiata dan Betta krataois)
  8. Kelompok Betta edithae: 1 spesies (Betta edithae)
  9. Kelompok Betta foerschi: 4 spesies (Betta mandor, Betta foerschi , Betta strohi, dan Betta rubra)
  10. Kelompok Betta picta: 3 spesies (Betta picta, Betta falx, dan Betta taeniata)
  11. Kelompok Betta pugnax: 8 spesies (Betta pugnax, Betta lehi, Betta fusca, Betta schalleri, Betta enisae, Betta breviobesus, Betta cracens, dan Betta raja)
  12. Kelompok Betta unimaculata: 6 spesies (Betta ocellata, Betta unimaculata, Betta patoti, Betta pallifina, Betta compuncta, dan Betta ideii)
  13. Kelompok Betta waseri: 5 spesies (Betta hipposideros, Betta spilotogena, Betta chloropharynx, Betta renata, dan Betta pardalotos)


Semoga Indonesia yang kaya akan sumberdaya akuatik-nya ini bisa mengelolanya dengan bijak sehingga dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat-nya. Amin


Sumber:
Tan, H. H. 2011. Diversity of Fighting Fishes - Ikan Cupang. Dipresentasikan dalam Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA), Bali, 2011.

[Ruby Vidia Kusumah]

Rabu, 11 Januari 2012

Nyelametin Beunteur di Kotak Kaca

Seminggu lalu (Selasa, 3/1/2012) saya sempat melaporkan hasil upaya temen-temen saya nyelametin beunteur (Puntius binotatus) di kolam beton. Sekedar mengingatkan kembali, upaya ini sukses dilakukan dengan parameter keberhasilan berupa 31 ekor anakan yang berumur kurang dari 30 hari.


Lain dulu, lain pula sekarang. Pada kesempatan kali ini giliran saya yang merasakan kebahagian serupa layaknya teman-teman yang saya sebutkan di atas. Hal ini tidak lain dikarenakan ikan beunteur yang saya pelihara dalam akuarium ternyata telah memiliki telur dan sperma yang matang serta siap dipijahkan. Betapa senangnya saya karena spesies lokal yang telah lama saya koleksi bersama temen-temen KPC Bogor dulu (lihat link) akhirnya memberikan tanda-tanda akan menghasilkan keturunan.

Kejadian ini bermula pada pagi hari ini (Rabu, 11/1/2012) ketika saya mencoba mengurut secara perlahan (stripping) perut dari beunteur-beunteur yang saya miliki untuk mengetahui tingkat kematangan telur dan spermanya. Saat melakukan pengurutan pada suatu induk, tiba-tiba beberapa telur keluar dari bagian anusnya. Karena penasaran dengan ikan-ikan lainnya, saya-pun langsung melakukan stripping pada keseluruhan individu. Alangkah terkejutnya saya saat melakukan pengurutan perut salah satu indukan beunteur. Ketika secara perlahan dipijat, ratusan telur yang lebih dari 300 butir terus keluar tanpa bisa dihentikan. Akhirnya saya-pun langsung meletakkan telur-telur yang keluar tersebut dalam wadah untuk kemudian saya periksa di bawah mikroskop pada perbesaran 25X.

Foto telur beunteur dibawah
mikroskop pembesaran 25X
Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui bahwa diameter telur yang dihasilkan ikan beunteur (Puntius binotatus) berkisar antara 0,941 – 1,107 mm dengan ukuran rata-rata sebesar 1,049 mm. Warna telur yang dihasilkan adalah bening dan bersifat menempel pada media saat diletakkan dalam wadah yang berisi air tawar.

Dengan hasil ini, kini indukan coba dipijahkan dalam akuarium berukuran 40x40x40 cm dengan eceng gondok sebagai media penempelan telur. Perbandingan jantan betina diterapkan melalui dua perlakuan. Akuarium 1 perbandingan adalah 1 jantan : 1 betina sedangkan akuarium 2, 2 jantan : 1 betina.

Semoga besok bisa lihat ada telur yang menetas di akuarium. Amin.

[Ruby Vidia Kusumah]

Senin, 09 Januari 2012

ikan lokal hingga spesies asing ciliwung

Beberapa informasi ini merupakan hasil inventarisasi yang dilakukan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor untuk mengenali potensi akuatik yang ada di Sungai Ciliwung dan sebagian telah dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI, KKP, Bandung, 18 Oktober 2011 . Kegiatan ini dilakukan melalui pengoleksian secara langsung maupun berdasarkan hasil wawancara kepada warga bantaran sungai Ciliwung. Dari kegiatan tersebut telah berhasil terinventarisasi ikan sebanyak 33 spesies dimana 13 ekor (61%) diantaranya merupakan spesies asing.

Gambar ikan Menga (Brachygobius aggregatus)

Ikan-ikan yang termasuk spesies asli terdiri dari: Lubang (Anguilla bicolor), Julung-julung (Dermogenys pusilla), Arelot (Pangio oblonga), Paray (Rasbora aprotaenia), Beunteur (Puntius binotatus), Tawes (Barbonymus gonionotus), Soro (Tor soro), Hampal (Hampala macrolepidota), Betok (Anabas testudineus), Bogo (Channa striata), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Tambakang (Helostoma temminkii), Sepat rawa (Trichopodus trichopterus), Cupang sawah (Trichopsis vittata), Senggal (Hemibagrus cf. nemurus), Lele lokal (Clarias batrachus), Kehkel (Glyptothorax platypogon), Berod (Macrognathus maculatus), dan Belut (Monopterus albus), sedangkan yang merupakan spesies introduksi antara lain terdiri dari: ikan Mas (Cyprinus caprio), Koan (Ctenopharyngodon idella), Koki (Carassius  auratus), Nila (Oreochromis niloticus), Nila merah (Oreochromis sp.), Mujair (Oreochromis mossambicus), Golsom (Aequidens rivulatus), Lele dumbo (Clarias sp.), Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis),  Sisik melik (Xiphophorus hellerii),  Bungkreung (Poecilia reticulata dan Gambusia affinis), dan Sepat siam (Trichogaster pectoralis). 

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor pada tahun 2007, jenis ikan yang ditemukan di Sungai Ciliwung diantaranya adalah Baung hitam (senggal), Baung lilin, Hampal, Beunteur, dan beberapa jenis ikan Loach (komunikasi pribadi). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Komunitas Ciliwung Bojonggede, beberapa spesies lainnya juga diketahui mulai dari sili, gehed, patin, bawal, menga (Brachygobius aggregatus), hingga buntal air tawar pada sekitar tahun '80-an yang mirip dengan spesies dari Palembang yaitu Tetraodon palembangensis. Dari wawancara ini juga tercatat hasil tangkapan ikan Mas hingga mencapai bobot 7 kg serta Baung berbobot 3 kg di Sungai Ciliwung Bojonggede. [Ruby Vidia Kusumah]


Selasa, 03 Januari 2012

Penyelamatan Beunteur di Kolam Beton

Sabtu, 31/12/2011, sepulang penanaman pohon di bantaran Sungai Ciliwung oleh KPC (Komunitas Peduli Ciliwung) Bogor, saya menyempatkan diri melihat kolam beunteur (Puntius binotatus) teman saya yang berlokasi di Sekretariat KALAM (Komunitas Peduli Kampung Halaman), Tegal Gundil, Bogor. Dari laporannya di blog Si Beunteur, mereka telah berhasil memijahkan spesies lokal yang banyak diminati masyarakat sebagai ikan konsumsi ini hanya dengan penerapan teknologi sederhana. Kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm serta berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower, penanaman tumbuhan air berupa rerumputan, hingga pemasangan bebatuan sungai. Jadi intinya bahwa habitat asli ikan beunteur di sungai berusaha ditiru pada kolam beton tersebut dengan parameter keberhasilan berupa 31 ekor benih beunteur berumur kurang dari 30 hari.

Gambar Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
 
Potensi dan permasalahan

Ikan beunteur (Puntius binotatus) merupakan spesies lokal dari keluarga Cyprinidae yang banyak ditemukan di Sungai Ciliwung (Kusumah et al., 2011) maupun sungai lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Spesies ini banyak diminati masyarakat karena kelezatannya sebagai ikan konsumsi dimana banyak menu masakan dibuat dari ikan lokal ini. Menurut Atlas of Freshwater Aquarium Fishes (Axelrod et. al., 2004), ikan beunteur dimanfaatkan juga sebagai ikan hias pengisi akuaskap sedangkan berdasar pada kebiasaan masyarakat di bantaran sungai, spesies ini juga digemari dalam olahraga memancing (sport fishing).

Hingga kini produksi beunteur masih berasal dari hasil tangkapan alam sedangkan upaya budidayanya secara massal belum pernah dilakukan. Kondisi ini menyebabkan jumlahnya di pasaran sangat terbatas dan bersifat musiman sehingga kontinyuitas pemanfaatannya tidak dapat tersedia sepanjang waktu. Akibatnya, hanya pada musim-musim tertentu saja ikan ini bisa dikonsumsi masyarakat.

Konservasi eksitu

Ketika eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di alam terus dilakukan tanpa memperhitungkan informasi mengenai dinamika populasinya (kematian, rekruitmen, ukuran populasi, dll), ditambah lagi berbagai bentuk ancaman lainnya mulai dari kerusakan habitat, introduksi spesies asing, serta pencemaran yang terjadi di habitat aslinya akan menjadi faktor yang mempercepat penurunan populasinya di alam. Tanpa upaya pengelolaan yang tepat, misal pelarangan tangkap saat musim pemijahan hingga pembuatan suaka perikanan, kelestarian spesies-spesies tersebut di masa yang akan datang tidak dapat terjamin dari generasi satu ke generasi lainnya. Pada kondisi ekstrim, keberadaan spesies makhluk hidup ini menjadi lebih cepat punah.

Budidaya merupakan alternatif upaya konservasi yang dapat dilakukan secara eksitu dimana suatu spesies dilestarikan dan dilindungi dengan cara ditangkarkan di luar habitat aslinya. Dengan adanya upaya ini eksploitasi suatu spesies makhluk hidup di alam dapat dikurangi sehingga kelestarian populasinya bisa terjaga. Selain itu, keuntungan lainnya adalah berupa kontinyuitas pemanfaatan yang bisa berlangsung secara berkelanjutan (tidak bersifat musiman) dikarenakan produksinya bisa diatur melalui segmentasi proses budidaya.

Biologi dan teknologi budidaya

Beunteur tergolong ikan benthopelagik (tinggal di dasar hingga kolom perairan), hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran suhu 24-26ÂșC dan pH perairan 6,0-6,5 (Roberts, 1989). Ikan ini umumnya ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Berdasarkan Ekspedisi Ikan Ciliwung oleh KPC, di Sungai Ciliwung, beunteur banyak ditemukan di bagian tepi sungai yang tidak terlalu dalam dan terhalangi oleh batuan besar sungai serta sampah anorganik yang membuat arus tidak mengalir deras. Akibatnya mereka bisa mendiami habitat tersebut dengan nyaman. Sedangkan anakan beunteur banyak ditemukan di daerah tepian sungai berupa genangan yang dialiri air jernih berarus sangat pelan, dangkal, tertutup bebatuan sungai berukuran kecil hingga besar, serta ditumbuhi tanaman air berupa rerumputan yang tumbuh dari dasar hingga mencuat ke atas permukaan perairan (KPC, 2011, unpublished).

Beunteur jantan matang gonad pertama kali pada ukuran 50 mm sedangkan betina pada ukuran 56  mm dengan fekunditas berkisar antara 168 -10.858 butir (Rahmawati, 2006). Selanjutnya Rahmawati (2006) menambahkan bahwa berdasarkan sebaran diameter telur-nya ikan beunteur diduga termasuk dalam kategori total spawner (saat memijah telur dikeluarkan seluruhnya, tidak sebagian-sebagian). Sedangkan menurut Axelrod dan Schultz (1983) serta Effendie (1997), ketika ikan beunteur siap memijah, pasangan tersebut akan menuju ke suatu tempat, kemudian telur yang dikeluarkan akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain.

Makanan utama ikan beunteur adalah Bacillariophyceaea, makanan sekunder Chlorophyceae, dan makanan insidental adalah Insekta (Asyarah, 2006). Selanjutnya Asyarah (2006) juga menyatakan bahwa ikan beunteur bersifat euryphages dimana ikan beunteur kecil (33-52 mm) cenderung herbivora, ikan sedang (53-92 mm) cenderung karnivora, dan ikan besar (93-122 mm) cenderung omnivora.

Untuk teknologi budidaya beunteur sendiri, beberapa orang memberikan alternatif yang berbeda satu sama lainnya. Salah seorang teman saya, pemilik blog Si Beunteur, menggunakan kolam beton berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air + 40 cm. Berbagai tambahan lainnya mulai dari pemasangan blower untuk membuat pancuran, aliran, dan resirkulasi air; penanaman tumbuhan air berupa rerumputan maupun lainnya sebagai tempat persembunyian dan melekatkan telur (tempat pemijahan); hingga pemasangan tumpukan bebatuan sungai yang juga berfungsi sebagai tempat bersembunyi. Pakan yang digunakan berupa cacing tanah hidup yang sering ditemukan di pelepah batang pisang yang diberikan banyak pada pagi sehingga tidak cepat habis dimakan sampai sore hari. Hasilnya, lebih dari 31 ekor benih berumur kurang dari 30 hari yang kemudian dipelihara dalam akuarium berasosiasi dengan tanaman air Cabomba sp. dan Hidrylla sp. Pakan yang diberikan pada benih setelah dapat berenang adalah berupa kuning telur.

Menurut informasi dari teman saya lainnya diketahui bahwa beunteur yang dimilikinya mampu berkembangbiak di bak mandi tembok hanya dengan memakan lumut yang menempel di dinding saja tanpa pemberian makanan tambahan. Kondisi ini dapat dipahami karena kebiasaan makanannya yang telah disebutkan Asyarah (2006) di atas. Sedangkan menurut diskusi dengan salah seorang peneliti dan praktisi ikan hias, beunteur bisa dibudidayakan juga menggunakan kolam terpal berukuran 2 m x 1 m x 0,6 m dengan ketinggian air 50 cm. Dasar kolam diberi lumpur setebal + 5 cm sebagai media untuk penanaman tanaman air mencuat yang biasa digunakan beunteur untuk menempelkan telur. Pakan yang diberikan berupa pelet hingga jentik nyamuk untuk indukan dan benih sedangkan sebagai pakan awal benih adalah berupa kotoran ayam kering yang dibungkus kain dengan ukuran 200 gram/m3. Menurut pengakuannya, dari teknologi ini juga telah berhasil mengembangbiakkan ikan beunteur.

Kesimpulan dan permasalahan lainnya

Dari kasus-kasus yang dipaparkan di atas telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya ikan beunteur (Puntius binotatus) merupakan spesies yang mudah beradaptasi dan termasuk mudah dibudidayakan, namun yang menjadi permasalahannya kini adalah:

  1. Bagaimana cara membuat ikan beunteur tersebut bisa memijah sepanjang tahun?
  2. Apa jenis pakan yang paling sesuai untuk mematangkan gonadnya sehingga manajemen pemijahannya bisa kita atur?
  3. Berapa jumlah pakan efektif yang seharusnya diberikan?
  4. Berapa perbandingan jantan-betina (sex ratio) yang tepat dan efektif untuk pemijahan massal ikan beunteur?
  5. Dll.

“Semoga tulisan ini bisa menjadi acuan upaya budidaya (konservasi eksitu) ikan beunteur (Puntius binotatus) secara massal sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekologi maupun ekonominya.” 

[Ruby Vidia Kusumah]

Pustaka

  • Asyarah, D. Q. 2006. Studi Makanan Ikan Beunteur (Puntius binotatus) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat.  Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
  • Axelrod, H. R., G. S. Axelrod, W. E. Burges, B. M. Scott, N. Pronek, and J. G. Walls. 2004. Atlas of Freshwater Aquarium Fishes: Tenth Edition. T.F.H. Publications. 1152p.
  • Axelrod, H. R. dan L. P. Schultz.  1983. Handbook of Tropical Aquarium Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong. 718 p.
  • Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
  • Kusumah, R. V., E. Kusrini, R. Samsudin, S. Cindelaras, Sudarto, dan Hapsoro. 2011. Introduksi Spesies Asing, Apakah Mengancam Kelestarian Ikan-Ikan Sungai Ciliwung?. Makalah dipresentasikan dalam Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III, BRPSI, KKP. Bandung, 18 Oktober 2011.
  • Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
  • Roberts, T. R. 1989 . The Freshwater Fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. San Fransisco.
  • Weber, M. dan L. F. de Beaufort. 1931. The Fish of Indo-Australian Archipelago. Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal 187-189.