Jumat, 27 Januari 2012

Cupang dari Kacamata Ekonomi dan Ekologi

Jumat, 20/1/2012, kebetulan saya dan enam teman sekantor berkesempatan mengunjungi dua eksportir ikan cupang alam (wild betta) yang berlokasi di Cilandak, Jakarta Selatan dan Sunter, Jakarta Utara. Jika anda termasuk salah seorang pecinta ikan cupang (Betta sp.) mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Pak Sahal dan Pak Joty Atmadjaja. Tulisan ini akan memberikan sedikit gambaran mengenai betapa besar dan berharganya potensi sumberdaya akuatik Indonesia jika bisa dikelola dengan benar dan bijak. Dan satu hal lagi yang perlu diingat, ini barulah berasal dari keluarga ikan cupang belum spesies-spesies dari famili lainnya.

Betta foerschi

Cupang dalam rak kayu

Siang hari itu sekitar pukul 10 pagi akhirnya kami tiba di rumah kediaman Pak Sahal, eksportir pertama yang kami kunjungi. Beberapa kolam tembok berukuran + 2 x 2 m2 dengan ketinggian air sekitar 40 cm tampak terpajang di sebidang lahan yang beliau ubah menjadi tempat koleksi sekaligus pembudidayaannya. Di salah satu sudut lahan tampak suatu pondok kayu dengan susunan rak kayu berisikan botol-botol akua sebagai tempat pemeliharaan ikan cupang yang akan diekspor. Dari bangunan tersebut terpajang beberapa spesies cupang alam mulai dari Betta sp. Antuta, Betta strohi, Betta ocellata, Betta anabatoides, dan Betta foerschi. Sedangkan pada rak lainnya tampak Betta dimidiata jantan sedang menjaga larva di mulutnya. “Kalau Betta rubra, Betta channoides, dan Betta albimarginata saya pijahin semua di kolam”, ujar Pak Sahal yang langsung membawa saya menuju kolam tembok pemijahan.

“Pak, memang jenis cupang alam apa saja yang sudah dipijahin?”, tanya saya penasaran. Tampak mengingat-ingat, Pak Sahal-pun mencoba menjawab secara perlahan, “Betta dimidiata, Betta channoides, Betta albimarginata, Betta rubra, Betta patoti, Betta edithae, Betta bellica, Betta persephone, Betta uberis, Betta rutilan, Betta brownorum”. “Kalau Si Ian di Bogor, lebih dari 30-an jenis yang pernah saya koleksi mungkin sudah bisa dipijahin semua”, Pak Sahal menambahkan.

Dari sekian banyak spesies yang dikoleksi dan dibudidayakan Pak Sahal, ada satu spesies yang menarik perhatian saya. “Pak kok ada spesies antuta sih?”, tanya saya penasaran karena dari daftar seluruh ikan cupang yang ada di dunia, tidak pernah disebutkan keberadaan spesies ini. “Oh antuta itu nama yang saya berikan kepada ikan cupang yang berasal dari sungai di pegunungan Hantutan, Kalimantan Timur. Saya hilangin aja huruf “H” di depan dan “N” dibelakang-nya jadinya antuta”, jawab Pak Sahal. “Menurut peneliti dari Perancis kemungkinan ini merupakan spesies baru karena berbeda”, Pak Sahal menambahkan. “Wah berarti masih banyak spesies cupang Indonesia yang belum teridentifikasi dan diberi nama donk?”, tanya saya dalam hati.

10 besar penjualan

“Kalau sepuluh besar cupang alam yang bapak ekspor apa ya?”, tanya saya di akhir kunjungan kami. “Sepuluh jenis yang biasa saya ekspor…, Betta sp. Antuta (Hantutan), Betta pallifina, Betta dimidiata, Betta rubra, Betta unimaculata, Betta krataois, Betta mandor, Betta patoti, Betta ocellata, Betta pershephone”, jawab Pak Sahal. “Betta patoti yang paling populer karena setiap kali pengiriman selalu ada permintaan untuk jenis ini”, lanjut Pak Sahal. Dari hasil wawancara ini, Pak Sahal juga menyebutkan kisaran harga ekspor ikan cupang alam-nya tersebut yang bernilai antara US$ 35-75 per ekor. Sedangkan pada kunjungan ke lokasi kedua, Pak Joty Atmadjaja menyebutkan sepuluh besar komoditas ekspor-nya yang terdiri dari: Betta macrostoma, Betta rubra, Betta channoides, Betta patoti, Betta albimarginata, Betta imbellis, Betta ocellata, Betta unimaculata, Betta chloroparynx, dan Betta bellica dengan nilai jual tertinggi seharga US$ 125 per ekor.

Terancam kepunahan

Menurut penuturan Pak Sahal, banyak spesies cupang alam kini tengah mengalami ancaman kepunahan karena maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit serta penambangan batubara. “Dari beberapa lokasi ekspedisi yang pernah kami kunjungi, beberapa diantaranya sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit”, tutur Pak Sahal menyayangkan. Sedangkan pada laporannya yang dilansir dalam xtrembetta.com, Pak Sahal melaporkan bahwa pada tahun 2010 habitat B. albimarginata di Sungai Sesayap musnah oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2011 pada lokasi cupang alam yang berasal dari Loreh dan Berau. Di akhir laporannya, Pak Sahal mencoba mengajak untuk mulai melakukan budidaya cupang alam.

Microsorium sp. trident
Sumberdaya akuatik ekspor lainnya

Selain ikan cupang, sumberdaya akuatik asli Indonesia lainnya yang menjadi perhatian serta diekspor Pak Sahal adalah tanaman air. Dari akuarium yang terpajang tampak Elepaglosis??? yang berasal dari Bulungan, Kalimantan; Silverline?????, serta Bucephalandra sp. dan Microsorum sp. trident yang berasal dari Malinau Utara, Kalimantan Timur. "Menarik juga kekayaan alam ini jika bisa dikelola dengan bijak", ucap saya dalam hati.

[Ruby Vidia Kusumah]

Foto oleh: Sawung Cindelaras

2 komentar:

  1. mantap sekali ini laporan pandangan matanya. Saluut utk Pak Sahal dan Pak Joty!!! Kita harus contoh semangat dan upaya mereka berdua ini utk melestarikan dan menaikkan nama ikan lokal Indonesia.

    Makasih yaa Oom Ruby, atas share cerita ini ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya semoga semakin banyak sumberdaya akuatik lokal Indonesia yang bisa kita manfaat & lestarikan...

      Salam,

      indig3nous

      Hapus